Selasa, 22 Maret 2011

APLIKASI PENGGUNAAN SISTEM DRILLING WITH CASING PADA PEMBORAN EKSPLORASI DENGAN SURFACE CASING 13 3/8” DI LAPANGAN LEPAS PANTAI


Dalam 20 tahun belakangan ini, pencarian persediaan minyak menjadi semakin penting karena sumber-sumber gas alam dan minyak mentah yang ada sudah semakin menipis dengan pesat, karena dipakai oleh negara-negara industri. Pada saat ini kenyataannya sulit untuk menemukan lapangan minyak baru di darat. Ditambah pula oleh fakta baru, bahwa banyak cekungan tepi benua merupakan tempat endapan minyak yang potensial, keadaan semacam ini yang melengkapi kondisi awal bagi lahirnya teknologi lepas pantai. Dalam perkembangannya, pada operasi-operasi pemboran sumur dilepas pantai selalu dilakukan pengembangan teknologi dan metode-metode alternatif baru untuk penghematan biaya operasional.
Dalam penulisan tugas akhir ini, terbagi atas beberapa BAB yaitu : BAB II akan membahas mengenai struktur geologi dan stratigrafi dari lapangan lepas pantai Blok Nila Laut Natuna selatan, BAB III membahas mengenai dasar unit pemboran dengancasing, cara kerja/mekanisme serta keuntungan dan kerugian dalam penerapan yang mempengaruhi pemboran dengan casing.
Selain itu juga, pada BAB IV akan membahas mengenai aplikasi penggunaan dari sistem DWC, tingkat keberhasilan dari cara kerja sistem DWC, kemampuan pipacasing khususnya casing 13 3/8” saat menahan beban yang terjadi dalam pelaksanaan operasi pemboran dan pengaruh pelaksanaan pemboran dengan casing terhadap waktu dan biaya operasional yang dikeluarkan. BAB V akan membahas hasil analisa dari aplikasi penggunaan sistem DWC pada pemboran lepas pantai dan terakhir adalah BAB IV yang akan membahas Kesimpulan dari penulisan Tugas Akhir ini.
Pelaksanaan Tugas Akhir ini memilih Sumur Melati-01 yang terletak di lapangan lepas pantai ConocoPhillips Inc. Ltd. di Blok Nila Laut Natuna Selatan, khususnya pada pemboran interval selubung permukaan dengan ukuran pipacasing 13 3/8” sebagai obyek penelitian dengan mempertimbangkan sumur ini telah selesai dibor maka data-data yang diperlukan untuk melakukan analisa dan perhitungan dalam kondisi standar dapat dilakukan. Lapangan lepas pantai di Blok Nila Laut Natuna Selatan dibeli oleh ConocoPhillips Inc. Ltd. pada tahun 2003 dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada saat ini Blok Nila telah membor 7 sumur dan belum menemukan cadangan hidrokarbon.
Dalam rangka untuk Continue Improvement atau menambah peningkatan pada operasi pemboran sumur di Blok Nila pihak perusahaan Conocophillips menggunakan sistem DWC yang diharapkan dapat mengurangi biaya pemboran sekaligus sebagai sistemalternatif untuk mengatasi masalah pemboran seperti dogleg, keyseat, swabbing dan masalah-masalah pemboran lainnya.
Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah mengetahui bagaimana prosedur dan penggunaan dari sistem Drilling With Casing, juga pemilihan casing yang akan digunakan pada sistem DWC berdasarkan gaya-gaya di dalam sumur (tekanan collapse, tekanan burst dan tekanan tension) dengan menggunakan metode grafis. Selain itu juga agar dapat mengetahui metoda pemboran mana yang lebih efektif, efisien dan ekonomis. Juga diharapkan dari hasil studi ini akan diperoleh suatu metoda pemboran yang paling tepat untuk digunakan pada interval selubung permukaan, khususnya bagi lapangan lepas pantai ConocoPhillips Inc. Ltd. di Laut Natuna Selatan, namun tidak tertutup kemungkinan untuk digunakan juga di lapangan lain, baik di darat (onshore) atau lepas pantai (offshore).
BAB II
TINJAUAN UMUM LAPANGAN

Lapangan Nila di Laut Natuna Selatan merupakan lapangan minyak dan gas yang dioperasikan oleh ConocoPhillips. Lapangan Nila merupakan lapangan yang dipercayakan Pertamina kepada ConocoPhillips dalam bentuk kerja sama PSC (Production Sharing Contract). Tinjauan umum Lapangan Nila ini meliputi regional geologi dan stratigrafi.

2.1 Letak Geografis Lapanagan

Blok Nila secara geografis terletak pada 106o–107o BT dan 04o 50’ –05o 00’ LU. Blok Nila terletak pada cekungan barat dalam Blok B ConocoPhillips di antara Blok Lasmo, Premier dan Gulf di sebelah utaranya.
Wilayah kerja ini terletak sekitar 90 km sebelah utara pulau Matak, atau kurang lebih 1175 km utara Jakarta (lihat gambar 2.1).

2.2 Geologi Regional Lapangan

Blok Nila terletak di cekungan Natuna bagian barat dari Lautan Natuna bagian selatan. Cekungan ini berasal dari masa Eosen sampai Oligosen yang Basement yang mengandung bermacam-macam batuan granit dan metasedimen merupakan daerah pembentukan bagi lapisan klasik syn-rift (proses pengendapan yang terjadi akibat pergeseran kerak bumi), yang diselingi terkadang dengan lapisan-lapisan tipis batuan beku, ini berdasarkan dari “ Formasi Belut “.
Di beberapa waktu pada syn-rift, sediment graben (sisipan) lacustrine terakumulasi dan membentuk lapisan sumber minyak yang sangat penting.

Gambar 2.1
Lokasi Lapangan Nila Laut Natuna Selatan8

Pada pertengahan Oligosen gerak patahan berhenti, sedimen-sedimen fasa rifting dan sinking merupakan lapisan yang menutupi batas patahan lama dan disebut formasi Gabus. Ini terdiri dari daerah besar reservoir fluvio-alluvial (pengendapan batuan yang terjadi di darat,merupakan umur pengendapan yang paling muda kurang lebih 20.000 tahun).
Awal diera Oligosen akhir, patahan Malay-Natuna bertukar silang lapisan tanpa dipengaruhui oleh temperatur, sebagai akibat dari gerakan tektonik transgressional NW-SE. Pembentuk patahan dan beberapa daerah batas cekungan berubah menjadi antiklin yangbesar yang mana menjadi bagian dari target utama dari eksplorasi ini. Indikasi pertama kali dari invers (hasil pengendapan yang terlipat kembali) dan pemudaan kembali batas pantai dilihat dalam getaran yang diperbaharui untuk reservoir batuan pasir berkualitas tinggi yang terdiri dari bagianbesar formasi Gabus. Antara pembesaran syn-invers tak berpusat, pengendapan didominasi oleh shale-shale brackish-lacustrine (pengendapan shale yang terbentuk pada lingkungan air payau) dari formasi barat, penutup atas yang terpenting. Penutup dari batas cekungan, klasik co-eval dari formasi udang terendapkan dan membentuk reservoir penting di beberapa lapangan.
Tahap Miosen Awal, getaran pembaharuan dari penekanan dan invers dihasilkan dari erosi pembesaran invers dari dataran tinggi dan pengikisan yang didominasi dari batuan klastik pasiran yang bergerak ke daerah tersebut. Ini didasarkan dari bagian batuan pasir arang bawah. Internal ini ditutup kebanyakan oleh penutup shale-shale tipis. Invers berlanjut secara beruntun dari Miosen awal dan pertengahan dengan deposisi yang didominasi dari formasi arang atas fluvio-deltaic (pengendapan yang terjadi di laut). Invers di daerah Nila sangat dramatis dan kebanyakan formasi arang menghilang dari daerah sturuktur Nila. Beberapastruktur telah digabungkan menjadi formasi Gabus.
Penekanan berhenti di akhir Miosen pertengahan dan sebuah daerah unconfirmity bersudut mengembang. Pengendapan dari daerah terusannya yang terbentuk karena fasa sinking dan terdiri dari pengendapan marine dangkal formasi muda.

2.3 Struktur Stratigrafi Lapangan

Stratigrafi cekungan Natuna Barat pada sumur Melati-01 dimulai dari basement pra-tersier dan seluruh pengendapan tersier dijelaskan pada gambar 2.2. Urutan lithostratigrafi di Cekungan Natuna Barat dari yang paling tua (basement) sampai ke yang muda menurut Conoco Block B Team (1997) dibagi atas lima kelompok, yaitu:
1. Batuan Dasar atau Basement, berumur Pra-Tersier.
2. Kelompok Belut, berumur antara Eocene sampai Oligocene Bawah.
3. Kelompok Gabus, berumur akhir Oligocene.
4. Kelompok Udang, berumur antara akhir Oligocene atas sampai awal Miocene.
5. Kelompok Barat, berumur antara Oligocene Bawah sampai Miocene Bawah.
6. Kelompok Arang, berumur antara Miocene Bawah sampai Miocene Tengah.
7. Kelompok Muda, berumur antara Miocene Atas sampai Pleistocene.

1. Basement

Arsitektur basement Laut Natuna berkembang selama fasa pergerakan pada zaman Eosen sampai awal Oligosen yang menyebabkan terbentuknya tiga unit geologi utama yaitu, cekungan Natuna Barat, Natuna high dan cekungan Natuna Timur. Basement pada umumnya terdiri dari batuan beku dan metamorfik atau endapan continental yang non-marine.

2. Formasi Belut

Proses pengendapan dimulai pada zaman awal Oligosen, di mana hasil pelapukan batuan granit dari basement mengisi palung dan lembah yang telah terbentuk. Pada blok “ B “ ConocoPhillips, formasi ini disebut formasi Belut yang ekivalen dengan formasi Gajah, Sotong, Terumbuk dan Tenggiri pada Blok lainnya.

3. Formasi Gabus

Pengendapan berlanjut pada akhir Oligosen yang membentuk formasi Gabus. Bagian bawahnya terdiri dari endapan aluvial dan delta, sedangkan pada
“Endapan transgressive delta front” terbentuk di bagian atasnya dan “inter distributary bay”. Formasi Gabus terdiri dari batuan pasir pada sistem delta yang pada umumnya sangat berlempung dan susah diperkirakan penyebarannya

4. Formasi Udang

Formasi Udang terbentuk pada akhir Oligosen atas sampai awal Miosen yang ditandai oleh proses pengendapan bidang yang landai dengan energi lemah kebagian atas formasi. Hal ini menyebabkan terbentuknya endapan klastik halus pada sistem “meandering” dan “brackish lacustrine”.

5. Formasi Barat

Pengendapan berlangsung pada awal Miosen yang dominan terdiri dari batuan lempung yang disisipi batuan pasir

Gambar 2.2
Kolom Stratigrafi Blok B Natura Barat8

. Pengaruh endapan marine mulai ditemukan pada bagian bawah formasi barat yang ditandai dengan serbuk tanaman air tawar.

6. Formasi Arang

Formasi Arang terbentuk dalam kurun waktu Miosen-Bawah sampai akhir Miosen-Tengah yang terdiri dominan dari batuan pasir kasar sampai halus dan “glauconitic sandstone” (pengendapan batuan pasir yang terjadi di laut dalam) menunjang terjadinya pengendapan marine.
Pada Miosen-Tengah terjadi proses “regresi” yang menyebabkan terbentuk endapan batuan pasir kasar yang disisipi “carbonaceous shale” terdapat pada bagian atas formasi Arang. Lapisan atas ini tererosi pada akhir Miosen-tengah.

7. Formasi Muda

Sejak Miosen-Atas sampai sekarang, formasi muda diendapkan pada proses transgresi diatas formasi yang lebih tua dan batasannya memberi refleksi yang berharga pada “seismic maker”. Formasi muda terdiri dari “shallow marine muda dan sand stones”.
BAB III
TEORI DASAR PEMBORAN DENGAN CASING

Perkembangan teknologi pemboran di dunia telah membuat pembaharuan dalam segi operasi pemboran, salah satunya adalah pemboran dengan Casing. Pemboran dengan casing adalah penyempurnaan dan pengembangan dari Casing While Drilling. Faktor yang membawa operator untuk menggunakan teknologi ini adalah pengurangan waktu dalam kurva pemboran dan pengurangan biaya peralatan yang berdampak akan mengurangi biaya pemboran.
Ada dua metode dasar atau sistem penggunaan dari pemboran dengan casing yaitu :
1. Dengan memasukkan retrievable bottom hole assembly ke dalam casing dan menggunakan motor untuk menggerakan pahat konvensional dan reamer, yang selanjutnya disebut dengan casing drilling.
2. Dengan sistem memutar casing dari permukaan dan menggunakan sistem penyambungan casing internal dan pahat yang dapat dibor kembali dengan peralatan BHA penyemenan di tempat, yang selanjutnya disebut dengan drilling with casing.
Penggunaan kedua metode atau sistem ini tergantung dari kegunaan dan fungsi pemakaian di lapangan, karena pemboran dengan casing ditawarkan sebagai solusi bagi masalah-masalah yang mungkin terjadi pada saat pemboran.

3.1 Konsep Dasar Casing Drilling

Sistem casing drilling adalah sistem atau metode pemboran dengan menggunakan casing sebagai rangkaian pipa pemboran. Dalam hal ini fungsi dari rangkaian pipa pemboran sebagai media untuk melewatkan energi mekanik dan hidrolik kepada pahat bor digantikan oleh casing sehingga dalam pengoperasiannya sistem ini memerlukan peralatan khusus atau beberapa bentuk modifikasi dari peralatan konvensional yang sudah ada.
Pada dasarnya, suatu rangkaian casing drilling terbagi menjadi dua rangkaian utama (lihat gambar 3.1), yaitu :
1. Rangkaian Bottom Hole Assembely (BHA)
Rangkaian BHA casing drilling terdiri dari :
a. Pilot Bit.
b. Underreamer.
c. Motor untuk Dirrectional Control (jika diperlukan).
d. Rangkaian peralatan LWD dan MWD (jika diperlukan).
2. Rangkaian Pipa Casing
Rangkaian pipa casing pada casing drilling telah didesain khusus untuk menahan beban putaran dan tekanan, yang telah dilengkapi pula dengan parameter khusus seperti :
a. Casing Lock Collar
b. Casing Torque Collar
c. Centralizer Khusus
d. Sistem pengunci pada bagian akhir rangkain
Pada aplikasinya rangkaian BHA diturunkan dan dipasang pada bagian akhir casing dengan sutu sistem pengunci khusus, kemudian kedua rangkaian tersebut diturunkan secara bersamaan ke dalam lubang bor dan melakukan pekerjaan pemboran sampai menembus formasi yang dituju. Sedangkan untuk mengoperasikan sistem BHA serta untuk mencabut rangkaian BHA apabila kedalaman yang sudah tercapai atau diperlukan untuk mengganti bit atau motor digunakan powerfull wireline unit.

Gambar 3.1
Rangkaian Downhole Tools Casing Drilling5
Sistem penyemenan yang digunakan pada casing drilling tidak jauh berbeda dengan sistem penyemenan yang digunakan pada operasi pemboran konvensional. Operasi penyemenan pada sistem ini dilakukan dengan menurunkan bottom plug terlebih dahulu sehingga bottom plug terkunci pada landing collar setelah itu barulah dipompakan semen dan didorong dengan menggunakan cementing plug hingga cementing plug terkunci pada bottom plug dengan suatu mekanisme pengunci khusus yang selanjutnya berfungsi untuk menahan tekanan balik dari semen yang dipengaruhui oleh tekanan formasi. Setelah itu barulah dilakukan pemboran untuk fase selanjutnya.

3.2 Tujuan Penggunaan Casing Drilling

Casing drilling terutama didesain untuk suatu kondisi yang mengharuskan operator segera memasang casing setelah membor, sehingga kemungkinan terjadinya masalah formasi dapat dikurangi. Dengan segera menurunkan dan memasang casing pada lubang bor, masalah formasi yang disebabkan oleh runtuhnya formasi shale pada saat memasang casing dapat dicegah. Sistem ini juga dapat mengurangi time spent waiting maupun unscheduled event, yang terutama penting untuk operasi pemboran lepas pantai, di mana arus pasang surut sangat berpengaruh pada saat harus dilakukan pencabutan BHA dan menurunkan casing dengan segera. Selain dapat diperoleh efisiensi biaya operasional dan efisiensi waktu operasi yang berarti, dengan digunakannya metode casing drilling ini faktor keselamatan dapat ditingkatkan pula (dengan mengurangi tenaga kerja yang diperlukan).
3.3 Keuntungan Penggunaan Casing Drilling

Keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan sistem casing drilling pada suatu operasi pemboran antara lain adalah sebagai berikut :

3.3.1 Efisiensi Rig

Keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan rig khusus pada operasi casing drilling adalah :
• Desain rig lebih kecil dan ringan sehingga transportasinya lebih mudah.
• Mengurangi biaya sewa rig.
• Membutuhkan horse power dan perawatan yang lebih sedikit.
• Mengurangi pengulanggan kerja pada drawwork (pada saat triping time).
Dalam mengoperasikannya sistem casing drilling dapat juga digunakan rig konvensional dengan memodifikasi beberapa sistemnya.

3.3.2 Efisiensi Operasional

Dalam segi operasional, keuntungan yang bisa diperoleh dari penggunaan sistem casing drilling adalah :
• Diperlukan konsumsi bahan bakar yang lebih sedikit (dengan digunakannya diameter rangkaian pemboran yang lebih besar pada casing drilling, maka pressure loss pada rangkaian pemboran dapat diminimalkan sehingga tenaga pompa yang diperlukan tidak terlalu besar dan penggunaan bahan bakar dapat dihemat).
• Mengurangi biaya lumpur dan semen.
• Mengurangi waktu tripping (pada saat penggantian BHA).
• Mengurangi masalah deviasi dan dogleg.

3.3.3 Efisiensi Unscheduled event

Untuk meminimalkan unscheduled event pada suatu operasi pemboran keuntungan bisa diperoleh dari penggunaan sistem casing driling adalah :
• Dapat mengatasi timbulnya masalah pada lubang sumur yang disebabkan oleh tekanan swab dan surge.
• Dapat mengaatasi timbulnya masalah pada zona waterflow, shear dan fluid loss pada saat menempatkan casing.
• Dapat mengatasi timbulnya rongga pada lubang bor saat dilakukan reaming back dari rangkaian pipa pemboran.

3.4 Keterbatasan Penggunaan Casing Drilling.

Pada sistem ini terdapat beberapa keterbatasan yang disebabkan oleh penggunaan casing sebagai rangkaian pemboran. Keterbatasan tersebut antara lain adalah :
• Kecepatan putaran casing string tidak terlalu tinggi.
• Keterbatasan beban torsi yang mampu ditahan oleh casing pada saat rangkaian casing diputar.
• Hanya efektif digunakan pada sumur-sumur pengembangan (development well).
• Timbulnya masalah fatigue.
3.5 Konsep Dasar Drilling With Casing (DWC)

Drilling with casing adalah suatu metode atau sistem dengan menggunakan rangkaian casing sebagai rangkaian pipa pemboran. Dalam hal ini rangkaian pipa pemboran sebagai media untuk melewatkan energi mekanik atau hidrolik kepada pahat bor, digantikan oleh casing. Berbeda dengan konsep pemboran casing drilling yang telah diterangkan sebelumnya, Drilling With Casing menggunakan pahat bor khusus yang dinamakan Drillshoe, yang akan diletakkan pada sambungan casing pertama.
Dengan sistem ini, setelah lubang yang dibor dengan casing mencapai kedalaman casing setting depth, “penyemenan ditempat” dapat langsung dilaksanakan tanpa harus diangkat dulu dari lubang (tanpa memerlukan tripping) dan tidak membutuhkan alat lain dalam casing untuk penyemenan. Karena float valve sudah diletakkan pada rangkaian casing selama operasi pemboran. Setelah CSD (casing setting depth) dicapai dan lubang bor dibersihkan dengan mensirkulasikan lumpur di dalam lubang, lalu bottom plug diturunkan sampai duduk pada float collar kemudian pompakan bubur semen dan didorong dengan top plug, maka membrane pada bottom plug akan pecah dan semen akan masuk mengisi annulus sampai posisi top plug berhimpit dengan bottom plug, dan setelah pekerjaan penyemenan selesai Drillshoe dapat langsung dibor dengan pahat PDC konvensional untuk fase pemboran selanjutnya.
Sistem pemboran dengan casing ini tidak membutuhkan modifikasi untuk rig pemboran konvensional. Peralatan yang dibutuhkan untuk operasi ini adalah sistem top drive. Karena tidak ada yang dihilangkan dari casing, tidak ada persyaratan khusus untuk kabel bor atau peralatan penanganan pipa khusus untuk operasi ini. Sampai saat ini, tidak ada operasi DWC yang menggunakan rig penggerak kelly.

3.6 Tujuan Penggunaan Sistem DWC

Teknik pemboran dengan menggunakan casing tidak dapat dipungkiri lagi sebagai teknik yang mampu mengurangi biaya-biaya pembuatan sumur, atau mempermudah pembuatan sumur yang efektif dan praktis selama bisa diaplikasi dilapangan. Pemboran dengan casing memberikan keuntungan dalam penyelesaian pekerjaan dimana tripping time untuk mengangkat peralatan pemboran dan waktu untuk menurunkan casing ke kedalaman setting depth di eliminasi dan pekerjaan dapat langsung dilanjutkan pada tahap penyemenan tanpa masalah.

3.7 Keuntungan Penggunaan Sistem DWC

Keuntungan yang dapat diperoleh dengan penggunaan sistem DWC pada suatu operasi pemboran dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu efisiensi rig, efisiensi fluida, efisiensi operasional, efisiensi unscheduled event.

3.7.1 Efisiensi Rig

Keuntungan yang dapat diperoleh dari efisiensi rig pada operasi DWC adalah :
• Tidak memerlukan rig khusus atau bisa menggunakan rig konvensional sehingga tidak ada biaya untuk menyewa rig yang khusus.
• Tidak diperlukkan sewa transportasi , perawatan dari drill pipe dan drill collar.
• Membutuhkan horse power dan perawatan yang lebih sedikit.
• Mengurangi pengulangan kerja pada drawwork (pada saat triping time).

3.7.2 Efisiensi Fluida

Keuntungan yang dapat diperoleh dari efisiensi fluida pada operasi DWC adalah :
• Laju alir dapat dikurangi.
• Meningkatkan pengangkatan cutting sehingga pembersihan lubang dapat lebih effisien.

3.7.3 Efisiensi Operasional

Dalam segi operasional, keuntungan yang bisa diperoleh dari penggunaan sistem DWC adalah :
• Diperlukan konsumsi bahan bakar yang lebih sedikit ( dengan digunakannya diameter rangkaian pemboran yang lebih besar pada sistem DWC, maka pressure loss pada rangkaian pemboran dapat diminimalkan sehingga tenaga pompa yang diperlukan tidak terlalu besar, dan dengan adanya hal tersebut maka penggunaan bahan bakar dapat lebih dihemat ).
• Menggurangi waktu tripping ( pada saat tripping dan penggantian BHA )
• Menggurangi masalah deviasi dan dogleg.
• Mengurangi kebutuhan horse power rig, karena kebutuhan rate pompa dan tekanan yang lebih kecil.

3.7.4 Efisiensi Unscheduled event

Dalam meminimalkan unscheduled event pada suatu operasi pemboran keuntungan yang bisa diperoleh dari penggunaan sistem DWC adalah :
• Dapat meminimalkan timbulnya masalah pada lubang sumur yang disebabkan oleh tekanan swab dan surge.

3.8 Keterbatasan Sistem DWC

Pada sistem DWC terdapat beberapa keterbatasan yang disebabkan penggunaan casing sebagai rangkaian pemboran. Keterbatasan-keterbatasan tersebut antara lain adalah :
• Torsi pemboran harus tidak boleh melebihi dari torsi casing.
• Teknologi saat ini dibatasi hanya untuk formasi yang lunak.
• Kedalaman dibatasi oleh kemampuan bit. Penggantian bit tidak memungkinkan karena harus mencabut seluruh rangkaian, sehingga menjadi tidak efisien.

3.9 Sistem DWC dan Alat –Alat Khusus yang Digunakan

Sistem DWC dengan menggunakan casing drill shoe yaitu bagian terbawah dari rangkaian casing sebagai pengganti drill bit. Drill shoe ini didesain dan berfungsi sebagai pahat pemborannya. Pemutaran casing di permukaan menggunakan top drive system. Ada dua cara untuk menghantarkan torsi dan putaran dari top drive ke rangkaian casing pemboran, yaitu dengan casing spears atau water bushing.
Rangkaian pemboran pada sistem ini terbagi menjadi dua rangkaian utama yang pertama rangkaian adalah BHA yang terdiri dari drill shoe, float collar, dan casing. Sedangkan yang kedua adalah peralatan pengangkatan yang harus bisa menahan berat, melakukan permutaran torsi dan mengandung tekanan. Perputaran DWC membutuhkan metode penyambungan dari top drive dengan casing, untuk menggerakan rangkaian casing.
Ada dua alternatif peralatan pengangkatan yang digunakan yaitu : water bushing (casing cross over) dan casing spears.

3.9.1 Drillshoe

Drillshoe adalah alat yang berfungsi sebagai pahat.yang diset di bawah rangkaian pemboran (lihat gambar 3.6). Bagian tengah dari nose alat ini terbentuk dari alumunium alloy, yang dapat dibor dengan segala macam bit / pahat.
Alat ini dibentuk dengan kombinasi dari elemen thermally stable diamond cutting (intan pemotong yang stabil dalam temperatur dan densitas tinggi), tungsten carbide (besi berat tempaan yang terbuat dari bahan sejenis karbid) di depan blade dan badan luarnya mempunya PDC cutter.

Drillshoe sangat agresif dan akan membor secara cepat dengan WOB rendah. Alat pemboran yang agresif dapat membuat torsi yang tinggi untuk berat yang rendah.

Gambar 3.2
Profile Drillshoe6
Tiga jenis model drillshoe yang digunakan dalam pemboran dengan casing yaitu:
1. Drillshoe 1
2. Drillshoe 2
3. Drillshoe 3
Adapun keterangan dari ketiga jenis drillshoe yang digunakan adalah sebagai berikut,

1. Drillshoe 1

Drillshoe 1 (gambar 3.7) mempunyai sistim kerja untuk lapisan atau formasi yang tidak begitu keras dan juga menghemat biaya ketika melakukan pemboran di bandingkan dengan pemboran konvensional, saving cost sewaktu akan mempersiapkan dan melakukan penyemenan (Cement in Place), tanpa adanya lagi Running Casing, drillshoe 1 merupakan produk berjenis inti aluminium yang berpusat di tengah dengan integral cutting blades.
Pisau (blades) terbuat dari bahan-bahan yang keras yang akan menghasilkan ketahanan terhadap adanya abrasi dikarenakan pengaruh pemboran, nozzel yang dapat di bor (Drillable) terdapat di antara blades langsung kepada fluida pemboran yang berfungsi atau berpengaruh kepada pendinginan dan cuttings removal.
Pusat dari drillable core terdapat di dalam badan baja (steel body) yang merupakan profile dari keseluruhan dari blades dan dilanjutkan kepada badan dari shoes yang melingkar hingga kepada diameter luar.
Badan besi yang terdapat di dalam badan (body) berhubungan dengan blades di luar dari diameter luar cutting dan strutkur cutting yang terbuat dari carbide yang akan akan dibor keluar kepada keseluruhan diameter.

Gambar 3.3
Drillshoe 112

Ketahanan terhadap abrasi dilindungi oleh kandungan metal matriks yang mengandung carbide Bricketts.

2. Drillshoe 2
Drillshoe 2 secara umum merupakan konstruksi yang hampir sama dengan Drillshoes 1, di mana (Gbr 3.8) terdapat pembaharuan terhadap cuttingnya yang terdapat di blades, yang mengandung berbagai jenis cutter jenis TSP yang terdapat di sekitar permukaan blades.
Ini akan menghasilkan kemampuan untuk membor formasi yang lebih keras dan interval yang lebih dalam atau kata lain berkemampuan dalam menembus zona yang lebih dalam dalam pemboran dengan casing blades-nya di modifikasi dengan PDC cutter kepada diameter gauge-nya di sekeliling bagian luar dari drillshoe.

Gambar 3.3
Drillshoe 212

2. Drillshoe 3

Drillshoe 3 merupakan produk yang telah dikembangkan dari dua jenis Drillshoe di atas (Gbr. 3.9) di mana telah dikombinasikan dengan keunggulan atau keuntungan dengan struktur cutting dari jenis PDC di mana merupakan standar dari mata bor PDC.
Dengan kemampuan untuk meletakkan atau menempatkan non drillable dari struktur cutting ke dalam lubang sumur, jadi hanya meninggalkan material dari pipa pemboran di daerah pahatnya tanpa merusak dari blades drillshoes.

Gambar 3.5
Drillshoe 312

3.9.2 Water Bushing

Water bushing (cross over) adalah sebuah alat sederhana yang berfungsi untuk menyambungkan top drive ke casing dan dapat di pasang pada torsi rendah. water bushing dibuat agar casing yang paling atas terhubungkan dengan top Drive sewaktu lubang dibuat dan sambungan menambah (lihat gambar 3.10).
Ini adalah suatu operasi yang sangat sederhana, penyambungannya dilakukan langsung dari water bushing ke casing, di mana jenis ulir dari bagian water bushing harus sama dengan ulir casing.

Gambar 3.6
Water Bushing11

3.9.3 Casing Spear

Casing spear sama fungsinya seperti water bushing yaitu alat sederhana untuk menyambungkan top drive ke casing. Seperti dapat dilihat pada gambar 3.11. Casing spear didesain untuk penyambungan cepat pada casing, casing spears dihubungkan dengan casing tidak dengan ulir, tapi melalui bagian dalam casing yang dimasukkan oleh spears yang juga dilengkapi dengan pack-off yang dapat menahan tekanan fluida (seal).

Gambar 3.7
Casing Spear11

menyebabkan ulir casing sama sekali tidak dipergunakan sehingga untuk penyambungan, hanya memerlukan satu koneksi, mengurangi waktu dan berarti akan mempercepat proses penyambungan dengan top drive system.
Stop ring diposisikan dekat dengan puncak spear untuk memastikan pegangan diletakkan pada tempat yang tepat di dalam casing. ¼ putaran ke kiri tanpa pengangkatan khusus akan melepaskan casing sedangkan ¼ putaran ke kanan memasang spear untuk memegang rangkaian casing.

3.10 Prosedur Kerja Umum

Pada Drillshoe 1 (HVOF Tungsten Carbide) dan Drillshoe 2 (Thermally Stable Diamond), kedua-duanya sangatlah agresif dan cepat dalam melakukan pemboran dengan WOB yang rendah. Peralatan pemboran yang agresif dalam menimbulkan torque yang besar untuk berat yang rendah. Sangat direkomendasikan nilai WOB dijaga sampai minimum, sampai beban torque yang didapat dari Drillshoe diketahui. Hal ini dikarenakan jika menggunakan berat WOB yang besar terlalu awal, kemungkinan dapat menyebabkan beban torque yang terlalu besar atau menyebabkan terlalu banyak pemakaian cutting structure.
Prosedur kerja pada pemboran dengan casing melalui beberapa persiapan yaitu 3:
? Persiapan Awal Pada Pemboran

1. Membongkar semua peralatan dan lakukan pemeriksaan peralatan.
2. Memeriksa dan mencatat nomor seri, ukuran dan tipe alat.
3. Memastikan tidak ada kerusakan pada aluminium nose atau cutting structure.
4. Memeriksa bagian nozzle.
5. Memindahkan pelindung ulir (thread protector) dan memeriksa jika ada kerusakan.
6. Memastikan bahwa tidak ada lapisan yang sobek atau serpihan didalam peralatan.

? Menyambung Casing Drilling String

1. Mendirikan Drillshoe box-up diatas keset karet atau alas kayu.
2. Membersihkan dan keringkan sambungan.
3. Memasukan casing joint dan putar dengan beban torque normal.
4. Mengangkat dan menjalankan casing seperti prosedur normal sampai 1 joint dari bagian akhir.
5. Mengangkat rangkaian casing dengan water bushing atau drilling spear.

? Proses Awal Pemboran

1. Memompakan lumpur dengan aliran bertekanan tinggi seperti yang direkomendasikan.
2. Memastikan indikator berat pada kondisi nol dan catat tekanan pompa dan rotary torque.
3. Menjalankan pemboran dengan lambat sampai ke mudline dan dengan hati-hati monitor nilai WOB, torque dan tekanan.
4. Dianjurkan bahwa joint pertama dilakukan pemboran dengan berat minimum sampai rangkaian casing berdiri tegak dan stabil pada lubang.

? Pemboran Awal

1. Selalu melakukan pemompaan dan memuutar rangkaian sebelum sampai ke bawah.
2. Menaikkan berat secara beransur untuk mencapai ROP yang diinginkan.
3. Mengingat, berat WOB yang melampaui batas akan mengurangi umur alat.
4. Memonitor tekanan pompa secara hati-hati.

? Pekerjaan Penyemenan

Float collar yang terpasang bersamaan dengan rangkaian casing dapat membuat operasi penyemenan segera dimulai begitu target total depth dicapai. Operasi penyemenan ini dapat dilakukan seperti prosedur penyemenan normal.
? Drilling Out
Drilling out atau pemboran selanjutnya pada Drillshoe dapat digunakan dengan pahat bor standar atau dengan Drillshoe tipe lainnya.
A. Pemboran selanjutnya dengan pahat bor.
- Aluminum nose sangat baik dibor dengan WOB medium, RPM rendah dan flow rate maksimum.
- Diperkirakan waktu yang dibutuhkan menembus nose Drillshoe adalah 5 – 20 menit.
- Jangan melakukan putaran ketika menarik BHA naik keatas shoe, kecuali benar-benar diperlukan.

B. Pemboran selanjutnya dengan Drillshoe
- Aluminum nose sebaiknya dibor dengan WOB yang sangat rendah, RPM rendah dan flow rate maksimum.
- Diperkirakan waktu yang dibutuhkan menembus nose Drillshoe adalah 10 - 40 menit.
- Jangan melakukan putaran ketika menarik naik keatas shoe, kecuali benar-benar diperlukan.

3.11 Metode Perhitungan yang Digunakan pada DWC

Dalam pemilihan material casing yang tepat pada aplikasi sistem DWC ini, perlu diperhitungkan pula beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan pipa casing yang dalam hal ini akan digunakan sebagai rangkaian pipa pemboran. Faktor-faktor yang harus diperhitungkan agar rangkaian pipa casing dapat mampu menahan beban tekanan lain adalah, beban collapse, beban burst serta beban tension.
Metode perhitungan yang digunakan untuk perhitungan ini adalah metode grafis4. Metode ini secara luas digunakan untuk memilih sesuai berat, grade dan menentukan kedalaman casing yang akan diseting. Beban burst, collapse dan tension ditentukan dengan menggunakan grafik tekanan vs kedalaman. ini.

3.11.1 Beban Collapse

Beban collapse adalah beban yang ditimbulkan oleh tekanan fluida yang terdapat di luar rangkaian pipa pemboran (pada annulus).
Metode ini beranggapan bahwa beban collapse ditimbulkan oleh tekanan formasi di sepanjang casing tersebut sebelum penyemenan dilakukan. Metode ini juga beranggapan yang sama dengan metode maksimum load bahwa bahwa beban collapse akan mencapai harga terbesar pada saat sumur mengalami lost circulation dengan sebagian tinggi lumpur tersisa di dalam sumur/casing. Biasanya fluida yang berpengaruh terhadap beban collapse yang ditimbulkan adalah lumpur serta semen pada saat casing dipasang terutama tekanan hidrostatik pada saat semen disirkulasikan sampai ke permukaan.
Pembebanan fluida yang membantu casing menahan collapse (back up) adalah lumpur dengan densitas yang paling ringan yang dipakai saat pemboran kedalaman selanjutnya di bawah kaki casing.
Tahapan-tahapan perhitungan untuk mengetahui besarnya beban collapse yang harus ditanggung oleh pipa adalah sebagai berikut :
1. Menghitung tekanan eksternal dan tekanan Internal pada kolom lumpur di luar dan di dalam casing.
2. Menghitung tekanan collapse (Pc) dari perbedaan tekanan eksternal dan tekanan internal.
3. Pada grafik kedalaman vs tekanan,tarik garis dari Pc = 0 di permukaan dan Pc = maksimum di casing shoe. Garis ini adalah garis tekanan collapse.
Pc di shoe = 0.052 x mud weight (ppg) depth (ft) ………………… 3.1
4. Menarik garis lurus harga collapse dari casing yang tersedia.
5. Persilangan dari garis tekanan collapse dan garis lurus dari casing tertentu akan mendapatkan kedalaman yang sesuai untuk casing tersebut.
3.11.2 Beban Burst

Beban burst adalah beban yang yang disebabkan oleh tekanan hidrostatik lumpur di dalam casing dan tekanan permukaan. Beban burst untuk surface casing ditimbulkan oleh kolom lumpur yang mengisi seluruh panjang casing dan tekanan maksimum tertentu yang dapat dicapai pada bagian atas dan bawah serta pada masing-masing kedalaman antara bagian atas dan dasar rangkaian pipa bor.
Beban burst maksimum dapat ditemui pada saat terjadi kick dan dalam annulus berisi gas dan lumpur. Untuk dapat menghitung beban burst yang harus ditahan oleh pipa, maka berdasarkan pada metode grafis tahapan-tahapan perhitungannya adalah :
1. Menghitung gradient tekanan formasi.
Gf = Gradient rekah (ppg) x 0.052................................................ 3.2
2. Menghitung tekanan eksternal dari tekanan formasi yang diharapkan dari kedalaman selanjutnya.
Pf = Gf (psi/ft) depth (ft).......….................................................... 3.3
3. Menghitung tekanan dalam casing.
Pi = Pf (psi) – (TD (ft) – CSD (ft) ) x Gradien gas (psi/ft)............. 3.4

4. Menghitung tekanan luar casing.
Pe = 0.052 x berat lumpur (ppg) x CSD (ft).................................... 3.5

5. Denga perbedaan tekanan yang diperoleh dari tahap 3 dan tahap 4 akan memberikan tekanan burst di shoe.
Pb di shoe = (Pi (psi) - Pe(psi) ) x SF burst ………………............ 3.6
Sedangkan harga burst di permukaan diberikan menggunakan persamaan :
Pb di permukaan = Pf - TD Gf ................................................. 3.7
di mana :
Pb = Tekanan burst, psi.
Pf = Tekanan formasi, psi.
TD = Total depth, ft.
CSD = Casing setting depth, ft.
Gf = Gradien formasi, psi/ft.
6. Memplot tekanan burst pada grafik dan tarik garis lurus harga burst yang tersedia dari casing.
7. Persilangan dari garis tekanan burst dan garis lurus dari casing tertentu akan mendapatkan kedalaman yang sesuai untuk casing tersebut.

3.11.3 Beban Tension

Beban tension sebagaimana diketahui adalah beban dari berat rangkaian casing yang digantung di dalam sumur. Tetapi dengan adanya lumpur di dalam sumur tersebut akan memberikan gaya apung terhadap casing tersebut sehingga berat casing akan lebih ringan bila dibandingkan dengan berat casing di udara. Akibat lain dari adanya gaya apung ini adalah bahwa pada sebagian rangkaian casing tepatnya pada bagian bawah, casing berada dalam kondisi kompresif dan selebihnya pada keadaan tension.
Pada tiap-tiap bagian dari rangkaian casing beban tensile atau beban kompresif harus dapat diketahui secara pasti. Perhitungan beban tension sangat penting untuk dilakukan pada bagian-bagian terpisah dari rangkaian casing. Prosedur ini perlu dilakukan pada saat masing-masing bagian dari casing diturunkan ke dalam lubang bor serta disemen pada densitas fluida yang berbeda.
Perhitungan beban tension digunakan untuk mengevaluasi kekuatan casing untuk memilih sambungan (coupling) yang sesuai dan untuk menghitung beban biaksial. Untuk menghitung beban tension maksimum yang harus ditahan oleh rangkaian casing pada masing-masing bagian, dapat digunakan langkah - langkah sebagai berikut :
1. Menentukan berat rangkaian casing di udara :
………..……………………………………………… 3.8
Wia = L P
2. Menentukan buoyancy factor :
………………………… 3.9
BF =
3. Menentukan desain beban ( maximum tension )
……...……………………………………………… 3.10
T = W BF
di mana :
W = Berat rangkaian casing, lb.
L = Panjang casing ( kedalaman ), ft.
P = Berat casing / joint, ppf.
BF = Buoyancy factor.
= Berat lumpur pemboran, ppg.
T = Beban tension,lb.

3.11.4 Beban Biaksial

Beban biaxsial adalah gaya-gaya yang bekerja pada casing yang terdapat di dalam sumur terjadi secara kombinasi. Dengan adanya tension maka akan menurunkan collapse resistance dan menaikkan burst resistance.
Jadi dapat disimpulkan dari uraiain di atas, bahwa terdapat empat kondisi dasar yang perlu diperhatikan dalam penggunaan casing.
1. Bila tekanan dalam tekanan luar maka akan terjadi pembebanan burst.
2. Bila terkanan luar tekanan dalam maka akan terjadi pembebanan collapse.
3. Bila Tension minimum Yield Strength maka akan terjadi Deformasi Permanent.
4. Tension akan menurunkan Collapse Resistance.
Parameter yang akan dihitung pada beban biaksial ini adalah :
a. Tes tekanan = 60% Pb ………………………………….... 3.11
b. TST = BW + . .……………............... 3.12
c. SF tension = .......................................... 3.13
d. SF burst = ................................. 3.14
e. SF collapse = ................................................. 3.15
f. BF = 630 x D x Wn ......................................................................... 3.16
g. SL = 3200 Wn………………………………………………….. 3.17
di mana :
Wia = Berat di udara,lbs.
Bf = Bouyancy factor.
Pb = Tekanan burst, psi.
TST = Total kekuatan tensile,lbs.
ID = Inside Diameter, in.
SF = Safety Factor.
BF = Kekuatan bending, lbs.
Wn = Berat persatuan panjang, lbs.
SL = Shock Load/kekuatan drag, lbs.

3.12 Perhitungan Waktu dan Cost/foot Pemboran.

Dalam aplikasi penggunaan DWC pada operasi pemboran lepas pantai di sumur Melati-01, perhitungan waktu operasional perlu dilakukan sebagai salah satu faktor penentu kemungkinan digunakannya sistem ini, karena waktu operasional berhubungan dengan segi keekonomisannya. Apabila waktu yang dicapai dengan menggunakan sistem DWC ini lebih besar atau sama dengan sistem konvensional maka sistem DWC ini tidak layak untuk digunakan, karena secara langsung berhubungan dengan biaya opersional yang akan ditanggung oleh perusahaan.
Pada dasarnya ada dua jenis biaya operasional yang harus dipertimbangkan dalam perhitungan estimasi biaya yang dilakukan yaitu :
1. Biaya untuk peralatan yang akan digunakan, yang meliputi :
• Biaya Daily operation.
• Biaya Pembelian atau penyediaan alat yang diperlukan.
• Biaya operating service
2. Biaya yang dihitung berdasarkan lamanya waktu operasi yang dilakukan.
• Drilling Operation.
• Tripping Operation.
• Others Operation.
3. Biaya yang dihitung berdasarkan jarak kaki (Cost/foot).
Biaya Cost/foot ini dari (referensi Rabia), dapat dihitung dengan persamaan:
……………………………………………….. 3.18
4. Total Waktu Operasi Pemboran.
Total waktu operasi pemboran ini dapat dihitung dengan persamaan :
Total waktu = drilling Time + Cementing Time jam……………….. 3.19

di mana :
C = Cost per foot, $/ft.
B = Biaya pahat, $.
R = Biaya rig per jam, $/jam.
T = Waktu saat pemboran, jam.
t = Waktu saat trip, jam.
F = Panjang lubang yang dibor atau footage, ft.
BAB IV
APLIKASI PENGGUNAAN SISTEM DWC PADA PEMBORAN
LEPAS PANTAI DI SUMUR MELATI-01

Pada aplikasi penggunaan sistem pemboran dengan casing selubung permukaan pada lapangan lepas pantai milik ConocoPhillips Inc. Ltd. dilakukan pada sumur Melati-01sedangkan untuk membandingkan waktu dan biaya operasi pemboran digunakan data offset well yaitu sumur IB-1. Lokasi sumur-sumur ini terletak di Blok Nila lapangan lepas pantai Laut Natuna Selatan dan dapat dilihat pada gambar 4.1. Pada aplikasi ini, dilakukan pada interval lubang permukaan dimana lubang bor mencapai formasi Muda paling bawah (Base Muda Formation) dengan ketebalan dapat mencapai 1500 ft8 .
Penggunaan Drillshoe pada sumur Melati-01 sangatlah ideal pada formasi ini. seperti yang diketahui DSII Drillshoe tidaklah dirancang untuk membor pada lapisan pasir yang besar atau batu gamping dari uraian formasi yang didapat menunjukan beberapa batu gamping yang tipis dan dapat dibor dengan RPM yang rendah, semua data itu akan berguna untuk pemanfaatan dari DSII Drillshoe11.
Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui aplikasi penggunaan sistem DWC dan menghitung kemampuan casing yang akan digunakan untuk menahan beban collapse, burst dan tension dengan menggunakan metode grafis. Nilai keekonomisan juga sebagai faktor pembanding dalam penulisan, dengan melihat cost/foot dari masing-masing pemboran.
Sehingga dari studi banding ini akan diketahui metoda pemboran mana yang lebih efektif, efisien dan ekonomis.

Gambar 4.1
Lokasi sumur Melati-01 dan Sumur IB-18

Harapan dari hasil tugas akhir ini akan diperoleh suatu metoda pemboran yang paling tepat untuk digunakan pada interval selubung permukaan, khususnya bagi lapangan lepas pantai ConocoPhillips Inc. Ltd. di Laut Natuna Selatan,

4.1 Aplikasi Penggunaan Sistem DWC Pada Pemboran Lepas Pantai

Dari data yang disediakan akan diharapkan tingkat kesuksesan 90% untuk kedalaman 1400 ft dan 80% untuk 1650 ft dan 70 % sampai kedalaman 2000 ft di luar lapisan yang tidak diketahui dan untuk membor sampai dengan TD Formasi Belut DSII Drillshoe tidak direkomendasikan9.
Target reservoir yang utama pada Sumur Melati-01 adalah pasir yang berada di dalam intra Belut yang terletak pada kedalaman TD 4165 ft MD ( 4100 ft TVDSS). Tidak ada gas dangkal yang harus diantisipasi di Melati-01, pada lubang 17” dan casing 13 3/8” diharapkan dibor riser-less dengan menggunakan sistem DWC sampai puncak formasi Belut dengan kedalaman kira-kira 1,145 ft MD. Aplikasi penggunaan sistem DWC pada pemboran lepas pantai di sumur Melati -01 terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui. Beberapa tahapan tersebut adalah : persiapan di darat, persiapan perakitan di darat dan persiapan di lepas pantai.

4.1.1. Persiapan di Darat

Persiapan di darat adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan persiapan untuk melakukan proses pemboran yang dilakukan di darat. Tahapan-tahapan persiapan di darat adalah sebagai berikut :
1. Peralatan sudah ada di lokasi.
2. Memindahkan pelindung.
3. Membersihkan area terakhir.
4. Pemeriksaan terakhir.
5. Persiapan untuk pengeoperasian di lepas pantai.
6. Menggantikan pelindung ulir yang usang dengan yang bersih.
7. Mengikatkat kuat-kuat dan memberi tanda.
8. Mengitung jumlah yang terdaftar.
9. Persediaan berbentuk pipa.

4.1.2. Persiapan Perakitan di Darat.

Persiapan perakitan di darat adalah tahapan-tahapan persiapan yang dilakukan sebelum merakit atau membuat rangkaian pemboran. Langkah-langkah persiapan tersebut adalah :
• Memeriksa cutting structur Drillshoe dari kerusakan yang mungkin terjadi selama perjalanan.
• Mencek dan catat nomor urut, ukuran alat dan jenis Drillshoe.
• Memeriksa bahwa semua nozzle-nozzle Drillshoe harus bersih.
• Mengkonfirmasikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam Drillshoe.
• Mencek float collar dari kerusakan yang mungkin terjadi selama perjalanan.
• Memeriksa bahwa klep collar berfungsi dengan baik.
• Mencek dan catat nomor urut, ukuran alat dan jenis float collar.

4.1.3 .Membuat Sambungan atau Merakit Rangkaian Pemboran

Setelah selesai dilakukan beberapa persiapan maka perangkaian atau perakitan rangkaian pemboran dapat dilakukan. Perangkaian atau perakitan rangkian pemboran dimulai dari yang paling bawah sampai pada tahap penyambungan casing. Tahapan-tahapan membuat sambungan atau rakitan rangkaian pemboran adalah :
1. Shoe joint.
a. Menyambung 13 3/8” x 17” Drillshoe ( DS2-133170) dengan 13 3/8” float collar.
• Menggunakan tenaga putaran 10.000 ft/lb.
• Menggunakan tabung pengunci Drillshoe untuk float collar dan casing pin yang terakhir.
b. Menyambung Drillshoe atau rakitan Float Collar ke sambungan pertama dari casing 13 3/8”.
• Tenaga putaran berdasarkan segi tiga approx.
• Memasang ulir gabungan dan pasang pelindung yang bersih pada kotak terakhir.
c. Menghitung jumlah panjangnya ke sambungan shoe track.
d. Memasukkan ke dalam kotak untuk mencegah kerusakan selama perjalanan.
e. Memasang tali gantungan ke shoe joint untuk safety dan penanganan lebih mudah.

2. Merakit peralatan spear casing pemboran.
Memasang 11.3/4" HE spear mandrel, 13.3/8" HE grapple dan rakitan spear 13-3/8" dilakukan sesuai perosedur seperti casing drilling spear.
* HE spear akan dimodifikasi dengan memperluas mandrel dan menambahkan suatu perluasan antara stop ring dari slip section (yang mempunyai gigi) dari grapple. Panjang dari grapple spear extension dan spear mandrel perlu diperluas dengan panjangnya yang sama (1.8-2.0 m).

4.1.4 Menjalankan Persiapan di Lepas Pantai.

Setelah rangkaian pemboran selesai dirakit maka tahapan berikutnya adalah menjalankan persiapan di lepas pantai, pastikan semua peralatan sudah ada di lokasi. Peralatan yang dipersiapkan antara lain :
1. Shoe joint tersusun dari :
a. 13-3/8" x 17" DRILLSHOE TM Model DS2-133170
b. 13-3/8" BTC float collar Model 402NP13BTCO.
2. Peralatan drilling with casing spear.

4.2. Menjalankan Operasi PemboranDengan Casing

Operasi pemboran dapat dilakukan apabila semua persiapan yang dilakukan sudah memenuhi persyaratan. Kegiatan pemboran dimulai dengan casing 13.3/8”
1. Mengadakan pertemuan untuk membicarakan pemboran dengan casing pastikan semua orang menyadari tanggung-jawab mereka.
2. Peralatan yang disediakan oleh rig untuk menangani casing : slips, single joint elevator, casing power tong dan lain-lain.
3. Pasang backup rig tong.
4. Meletakan satu stand drill pipe 5" sebagai jarak untuk mendaratkan well head di atas well head 26".
5. Mengambil peralatan casing spear.
6. Memasang casing spear ke dalam top drive sistem. Menggunakan putaran normal. Jalankan sampai ke garis lumpur pada 39m dengan casing 13.3/8" BTC .
a) Konfirmasikan floats terbuka ketika casing dipenuhi oleh air laut
b) Tidak ada centralizers yang digunakan
c) Sambungan tunggal Elevator akan tinggal dipasang di luar prosedur sampai ada tanda dari mudline.
d) Casing safety clamp akan digunakan untuk 6 joint pertama sewaktu membuat koneksi.
7. Sambungan pertama ( shoe joint)
a) Mengambil shoe joint dengan crane ke dalam mouse hole. Sambungkan single joint elevator (SJE) dan bagian belakang shoe joint ke dalam rig floor gunakan rig crane selagi mengambil dengan blok untuk memastikan tidak ada kerusakan pada sambungan Drillshoe/float collar.
b) Menurunkan shoe joint ke rotary table, memasang casing slips dan pasang casing safety clamp.
8. Sambungan kedua
a) Mengambil casing kedua dari catwalk yang menggunakan air tugger atau crane ke dalam mouse hole. Pasang SJE ekor yang dihubungkan ke dalam meja berputar dengan menggunakan suatu tali ke seberang mouse hole.
b) Melepaskankan pelindung ulir, periksa pada sambungan pin. Masukkan ke dalam kotak shoe joint.
c) Memasang casing power tong dan backup tong, jalankan berdasarkan segi tiga.
d) Memasukan spear ke dalam casing 13-3/8" dan putar 1/4 ke kanan.
e) Mengambil dan tarik casing slips ( SJE tetap dipasang)
f) Menurunkan casing dengan pelan-pelan.
g) Menset casing slips,pasang safety clamp.
h) Memutar 1/4 ke yang kiri untuk melepaskan spear.
9. Sambungan ke tiga

a) Mengambil casing ke tiga dari catwalk dengan menggunakan air tugger ke dalam mouse hole. Pasang SJE ekor yang dihubungkan ke dalam rotary table dengan menggunakan suatu tali ke seberang mouse hole.
b) Melepaskan pelindung ulir, periksa pada sambungan pin.. Masukkan ke dalam kotak shoe joint yang ke dua.
c) Memasang casing dengan menggunakan casing power tong dan back up tong sebagai dasar segitiga.
d) Memasukan spear ke dalam casing 13-3/8" dan putar 1/4 ke kanan.
e) Mengambil dan tarik casing slips (SJE tetap terpasang).
f) Menurunkan rangkaian casing dengan pelan-pelan sampai batas lumpur.
** Beban hook dan kedalaman batas lumpur harus direkam**
g) Mensirkulasi pelan-pelan dengan air laut dan putar casing spear dan top drive.
h) Memulai pemboran bawah casing. Menambahkan berat WOB dan RPM pelan-pelan.
WEIGHT ON BIT : 2-6 Ton
RPM : 20-60
Laju alir : 200-1000 GPM
** Amati pompa WOB, RPM, tekanan pompa dan tenaga putaran/torque**
i) Membor sambungan casing yang bawah . back ream dan/atau pompa Hi-Vis lumpur untuk menyapu serpihan/cutting jika diperlukan
j) Menset casing slips dan pasang casing safety clamp (untuk 6 sambungan pertama) matikan pompa.
k) Memutar casing spear 1/4 ke kiri untuk melepaskan casing spear.
l) Mengambil casing joint berikutnya dari catwalk dengan menggunakan air tugger ke dalam mouse hole. Pasang SJE ekor yang hubungkan ke rotary table dengan menggunakan suatu tali ke seberang mouse hole.
m) Melepaskan pelindung ulir, memeriksa sambungan pin dan masukkan ke dalam kotak sambungan sebelumnya.
n) Memasang casing (dengan backup tong untuk 6 sambungan yang pertama).
o) Memasukan casing spear ke dalam casing 13-3/8" dan putar 1/4 ke kanan.
p) Mengambil dan tarik casing slips, pasang casing safety clamp (untuk 6 sambungan yang pertama ).
q) Menjalankan pompa.
r) Membor dengan menurunkan sambungan casing. Back ream dan atau pompa lumpur Hi-Vis untuk mengangkat cutting.
s) Menset casing slips dan matikan pompa.
t) Mengendurkan dan putar 1/4 ke kiri untuk melepaskan peralatan casing spear.
10. TD adalah 1200 kaki atau puncak Formasi Belut bor sampai 815 feet dengan L80.68 PPF casing dan diganti dengan waterhead bushing X ke atas drill pipe sampai 1200 feet.
11. Mengulangi langkah-langkah (l)-(t) sampai drillshoe menjangkau puncak Formasi Belut yang ditunjukan oleh reverse drilling break.
12. Menyemen normal.
13. Melanjutkan pemboran ke kedalaman selanjutnya sesuai prosedur.

4.3. Pengolahan Data dengan Menggunakan Metode Grafis.

Metode perhitungan yang digunakan adalah metode grafis yang bertujuan untuk pemilihan material casing yang akan di tempatkan pada kedalaman tertentu dan kita dapat mengetahui secara teknik bahwa beban burst, collapse dan tension yang harus ditanggung oleh pipa casing tidak melebihi dari kemampuan maksimum pipa casing dalam menahan beban, burst, collapse dan tension.
Pada perhitungan matematis beban burst, collapse dan tension yang dilakukan secara manual untuk casing 13 3/8” dengan grade casing yang tersedia yaitu P-110 dan L-80.

4.3.1 Data Pemboran

Berikut ini adalah data pemboran yang dipakai pada sumur Melati-01 pemboran sampai dengan lubang permukaan:
Data Umum:
Nama Sumur : Melati -01
Tipe pemboran : Vertikal
Spud Date : 17 Agustus 2003
Nama Rig : Semi-Submersible, Sedco-601
RKB – SL : 65 ft
Kedalaman Air Laut : 246 ft
Surface Depth : 1075 ft
Plastic Viscosity, PV : 5 cp
Yield Point, YP : 50 lbs/100ft2
Densitas Lumpur, ? : 8.5 ppg
Tekanan Permukaan, Psurface : 363 psi
Laju Alir Lumpur, Q : 1095 gpm
Data Pahat dan Pipa:
Pahat DrillShoe : 17 inch, Ukuran nozzle: 14-14-14-14-14-14
Casing P-110 : 13 3/8 inch OD (12.347 inch ID)
Casing L-80 : 13 3/8 inch OD (12.515 inch ID)
Sistem Pompa:
Nama Pompa : Continental Emsco FB-1600 (@1600 HP)
Jumlah Pompa : 2 Pompa
Tipe Pompa : Triplex Pump
Maximum Input Power : 1193 kW (1600 HP) dalam 1 pompa
Rotasi Per Menit, rpm : 120 rpm
Maximum Speed, spm : 120 spm
Stroke Length, Lstroke : 12 inch
Liner Size, Dliner : 7 inch
Maximum Pressure : 3422 psi

Sedangkan parameter yang berupa data-data untuk casing dan coupling yang tersedia untuk sumur Melati-01 dapat dilihat pada tabel 4.1. dan parameter yang berupa speksifikasi untuk casing yang tersedia dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.1
Data Parameter, Casing dan Coupling

CASING
(OD/ID)
COUPLING
COUPLING
(OD/ID)

DRIFT
ID
13-3/8”/12.347 NSCC 14.375”/NA 12.250”
13-3/8”/12.515 BTC 14.375”/NA 12.359”

Data-data inilah yang akan digunakan sebagai input untuk perhitungan pada bab ini.
Tabel 4.2
Data Parameter Spesifikasi Casing

CASING
(OD/ID)

GRADE

WEIGHT
(LB/FT)

COLLAPSE
(PSI)

BURST
(PSI)
BODY
TENSILE
STRENGHT
(1000 LB)

13-3/8”/12.347 P-110 72.0 2880 7400 2596
13-3/8”/12.515 L-80 68.0 2260 5020 1556

4.4. Hasil Perhitungan Dengan Menggunakan Metode Grafis.
Pada Sumur Melati-01 penggunaan conductor casing telah digantikan oleh pipa surface casing 13-3/8”. Surface casing 13 3/8” ini akan diset pada kedalaman 1300’ RKB dengan menggunakan pahat 17” lalu akan dilanjutkan sampai kedalaman 4100’ yang merupakan total kedalaman (TD). Program berat lumpur yang akan digunakan pada fasa surface casing ini adalah 8.5 ppg atau 64 ppf dan gradient rekah sebesar 9.0 ppg dapat dilihat pada lembar lampiran B selain itu juga diketahui data safety factor yang direkomendasikan dari perusahaan dan adalah sebagai berikut :
a) Collapse = 1.05
b) Burst = 1.1
c) Tension = 1.8
Gradient tekanan gas diasumsikan dengan harga sebesar 0,1 psi/ft. Perhitungan beban collapse, burst dan tension dengan menggunakan metode grafis untuk casing 13-3/8” dengan Grade P-110 dan L-80 adalah sebagai berikut :

1. Tekanan collapse.

Tekanan collapse dibagi menjadi 2 yaitu tekanan collapse di permukaan dan tekanan collapse di shoe, data yang diperlukan untuk menghitung tekanan collapse adalah :
a. Berat lumpur = 8.5 ppg
b. Kedalaman casing 13 3/8” = 1300 ft
Dengan data yang diberikan di atas maka di dapat :
• Tekanan collapse di permukaan = 0
• Tekanan collapse di shoe, dengan menggunakan persamaan 3.1
Pc di shoe = 0.052 x mud weight (ppg) depth (ft)
= 0.052 x 8.5 ppg x 1300 ft
= 575 psi.

2. Tekanan burst.

Sama seperti tekanan collapse tekanan burst juga terbagi menjadi dua yaitu tekanan burst di permukaan dan tekanan burst di shoe, data yang diperlukan untuk menghitung tekanan burst adalah :
a. Gradient rekah = 9.0 ppg.
b. Total kedalaman = 4100 ft.
c. Gradient gas = 0.1 psi/ft.
d. Berat lumpur = 8.5 ppg.
e. Kedalaman casing 13 3/8” = 1300 ft
f. Safety factor burst = 1.1
Dari data yang diberikan di atas maka dapat dihitung harga tekanan burst melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
• Menghitung gradient tekanan formasi, menggunakan persamaan 3.2.
Gradient tekanan formasi = gradient rekah (ppg) x 0.052
= 9.0 ppg x 0.052
= 0.468 psi/ft.
• Tekanan external formation dengan menggunakan persamaan 3.3. Pf = True depth (ft) x gradient tekanan formasi (psi/ft)
= 4100 ft x 0.468 psi/ft
= 1919 psi.
• Tekanan dalam casing dengan menggunakan persamaan 3.4
Pi = Pf (psi) – (TD (ft) – CSD (ft) ) x Gradien gas (psi/ft)
= 1919 psi – ( 4100 ft – 1300 ft ) x 0.1 psi/ft
= 1639 psi.
• Tekanan luar casing dengan menggunakan persamaan 3.5
Pe = 0.052 x berat lumpur (ppg) x CSD (ft)
= 0.052 x 8.5 ppg x 1300 ft
= 575 psi.
• Tekanan burst di shoe dengan menggunakan persamaan 3.6
Pb di shoe = (Pi (psi) - Pe(psi) ) x SF burst
= ( 1639 psi - 575 psi ) x 1.1
= 1170 psi.
• Tekanan burst di permukaan dengan menggunakan persamaan 3.4
Pb di permukaan = Pf (psi) - ( TD (ft) x gradient gas (psi/ft) )
= 1919 psi – ( 4100 ft x 0.1psi/ft )
= 1509 psi.
Setelah mengetahui harga dari tekanan collapse di permukaan maupun di shoe dan tekanan burst di permukaan dan di shoe, tahapan selanjutnya adalah membuat garis lurus dari harga collapse dan burst yang dimiliki oleh casing P-110 dan L-80. Grafik hasil combinasi dari collapse dan burst ini bisa dilihat pada lembar lampiran D dan tabel 4.3 akan memberikan pemilihan casing berdasarkan kedalaman untuk fasa surface casing 13-3/8”.

Tabel 4.3
Pemilihan Casing Berdasarkan Kedalaman

DEPTH
(ft) GRADE & WEIGHT WEIGHT IN AIR
1000 LB
0’ - 426’ P – 110, 72 lb/ft 30672
426’ - 1300 L – 80, 68 lb/ft 59432

3. Beban tension.

Dengan menggunakan data parameter spesifikasi casing dari tabel 4.3 di atas maka untuk perhitungan beban tension, langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :

? Menghitung berat rangkaian casing di udara dengan menggunakan persamaan 3.8.
• Casing 13-3/8” OD / 12.347” ID grade P-110.
Wia = L (ft) x P (ppf)
= 426 ft x 72 ppf
= 30672 lb.
• Casing 13-3/8” OD / 12.515” ID grade L-80.
Wia = L (ft) x P (ppf)
= ( 1300 - 426 ) ft x 68 ppf
= 59432 lb.
? Menghitung Buoyancy factor dengan menggunakan persamaan 3.9. Diketahui data berat lumpur pemboran yang digunakan sebesar 8.5 ppg. Karena penggunaan berat lumpur yang sama pada fasa surface casing maka harga buoyancy factor untu grade P-110 dan L-80 adalah sama.
BF =
BF =
= 0.871
? Menghitung beban tension dengan menggunakan persamaan 3.10.
• Casing 13-3/8” OD / 12.347” ID grade P-110.
T = Wia x Bf
T = 30672 x 0.871
= 26715 lb.
• Casing 13-3/8” OD / 12.515” ID grade L-80.
T = Wia x Bf
T = 59432 x 0.871
= 51765 lb.

4. Beban biaxial.
Beban biaxial berkaitan dengan safety factor untuk tiap-tiap grade casing karena parameter yang menjadi data dari perhitungan safety factor ini di dapat dari parameter yang dihitung pada beban biaxial.
Data yang digunakan untuk perhitungan beban biaxial untuk casing 13-3/8” OD / 12.347” ID grade P-110. adalah sebagai berikut
a. Tekanan collapse SF = 1 = 2880 psi.
b. Tekanan collapse di shoe = 575 psi.
c. Tekanan burst SF = 1 = 7400 psi.
d. Tekanan burst di permukaan = 1509 psi.
e. Body tensile strength = 2596000 lb.
f. Beban tension = 26715 lb.
g. Berat rangkaian casing di udara = 30672 lb.
Dengan data-data yang diberikan di atas maka langkah-langkah perhitungan untuk beban biaxial dan safety factor tension, burst dan collapse adalah sebagai berikut :

? Menghitung tes tekanan dengan menggunakan persamaan 3.11.
Tes tekanan = 60% Pb (psi)
= 0.6 x 7400 psi
= 4440 psi.
? Menghitung total kekuatan tensile dengan menggunakan persamaan 3.12.
TST = Wia (lb) + x ID2 (inch) x tes tekanan (psi).
= 30672 lb + x 152.4484 inch x 4440 psi
= 562285 lb.
? Menghitung safety factor untuk tension dengan menggunakan persamaan 3.13.
SF tension = = = 4.6
? Safety factor tension yang didapat yaitu sebesar 4.6 lebih besar dari safety factor burst yang direkomendasikan oleh perusahaan yaitu 1.8 maka untuk casing grade P-110 untuk faktor tension sudah aman untuk digunakan.

? Menghitung safety factor untuk burst dengan menggunakan persamaan
3.14.
SF burst =
=
= 4.9
? Safety factor burst yang didapat yaitu sebesar 4.9 lebih besar dari safety factor burst yang direkomendasikan oleh perusahaan yaitu 1.1 maka untuk casing grade P-110 untuk faktor burst sudah aman untuk digunakan.
? Menghitung safety factor untuk collapse,dengan menggunakan persamaan 3.15.
SF collapse =
=
= 5.0
? Safety factor collapse yang didapat yaitu sebesar 5.0 lebih besar dari safety factor collapse yang di rekomendasikan oleh perusahaan yaitu 1.05 maka untuk casing grade P-110 untuk faktor collapse sudah aman untuk digunakan.

Sedangkan data yang digunakan untuk perhitungan beban biaxial untuk casing 13-3/8” OD / 12.515” ID grade L-80 adalah sebagai berikut :
a. Tekanan collapse SF = 1 = 2260 psi.
b. Tekanan collapse di shoe = 575 psi.
c. Tekanan burst SF = 1 = 5020 psi.
d. Tekanan burst di permukaan = 1509 psi.
e. Body tensile strength = 1556000 lb.
f. Beban tension = 51765 lb.
g. Berat rangkaian casing di udara = 59432 lb.
Dengan data-data yang diberikan di atas maka langkah-langkah perhitungan untuk beban biaxial dan safety factor tension, burst dan collapse adalah sebagai berikut :
? Menghitung tes tekanan dengan menggunakan persamaan 3.11.
Tes tekanan = 60% Pb (psi)
= 0.6 x 5020 psi
= 3012 psi.
? Menghitung total kekuatan tensile dengan menggunakan persamaan 3.12.
TST = Wia (lb) + x ID2 (inch) x tes tekanan (psi).
= 59432 lb + x 156.625 inch x 3012 psi
= 429947 lb.
? Menghitung safety factor untuk tension dengan menggunakan persamaan 3.13.
SF tension = = = 3.6
? Safety factor tension yang didapat yaitu sebesar 3.6 lebih besar dari safety factor burst yang direkomendasikan oleh perusahaan yaitu 1.8 maka untuk casing grade L-80 untuk faktor tension sudah aman untuk digunakan.

? Menghitung safety factor untuk burst dengan menggunakan persamaan 3.14
SF burst =
=
= 3.3
? Safety factor burst yang didapat yaitu sebesar 3.3 lebih besar dari safety factor burst yang direkomendasikan oleh perusahaan yaitu 1.1 maka untuk casing grade L-80 untuk faktor burst sudah aman untuk digunakan.
? Menghitung safety factor untuk collapse,dengan menggunakan persamaan 3.15.
SF collapse =
=
= 4.0
? Safety factor collapse yang didapat yaitu sebesar 4.0 lebih besar dari safety factor collapse yang di rekomendasikan oleh perusahaan yaitu 1.05 maka untuk casing grade L-80 untuk faktor collapse sudah aman untuk digunakan

4.5 Hasil Perhitungan Biaya dan Waktu Operasi Pemboran
Pada operasi pemboran dengan casing sumur Melati-01 untuk lubang permukaan sampai kedalaman 1075 ft, dilakukan pekerjaan pemboran dengan ukuran lubang berdiameter 17”.
Data-data yang dipergunakan untuk menghitung waktu dan biaya operasi pemboran dengan casing pada sumur Melati-01, adalah sebagai berikut
Lubang bor 17”:
• Interval kedalaman = 311 – 1075 ft
• Footage = 764 ft
• Rotating time = 19.50 hrs
• Pasang BOP dan
cement 13 3/8" casing = 16.00 hrs
• Harga DrillShoe 17” = $ 37000
• Operating equipment cost = $ 60.000
• Operating service cost = $ 12.000
• Sewa rig = $ 62000/day = $2583.33/hr
Pada operasi pemboran dengan casing ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya suatu biaya pemboran, antara lain adalah harga pahat, harga sewa rig, waktu operasi pemboran dan footage dari pahat yang digunakan. Harga pahat pada operasi pemboran dengan casing termasuk didalamnya adalah biaya pahat itu sendiri, ditambah biaya peralatan operasi dan biaya jasa. Faktor tersebut perlu dihitung, untuk melihat seberapa besar waktu dan biaya pemboran yang telah dipakai.
Berikut ini adalah perhitungan biaya pemboran dan nilai cost/foot dari operasi pemboran dengan casing pada sumur Melati-01:

1. Waktu Operasi Pemboran Dengan Casing Pada Sumur Melati-01
Waktu operasi pemboran dengan casing pada lubang 17”, dengan menggunakan persamaan 3.19 yaitu:
Total waktu = Rotating time + cement 13 3/8” casing time hrs
Total waktu = 19.50 hrs + 16.00 hrs
= 35.50 hrs

2. Cost/Foot Operasi Pemboran Pada Sumur Melati-01
Adapun cost/foot operasi pemboran pada lubang 17”, dengan menggunakan persamaan 3.18 yaitu:

di mana:
B = Harga DrillShoe 17” + Operating equipment cost
+ Operating service cost
B = $ 37000 + $ 60000$ + 12000
B = $ 55000
maka, cost/foot pada pemboran dengan casing, yaitu:

Sedangkan untuk perhitungan waktu dan biaya operasi pemboran pada sistem konvensional menggunakan data sumur IB-1 yang merupakan offset well dari Melati-01. Data dipergunakan untuk menghitung waktu dan biaya operasi pemboran konvensional pada sumur IB-1, adalah sebagai berikut

Lubang bor 36”:
• Interval kedalaman = 325 - 610 ft
• Footage = 285 ft
• Rotating time = 1.50 hrs
• Trip time = 7.91 hrs
• RIH dan cement 30" casing = 20.71 hrs
• Harga pahat 36” = $ 35000
• Sewa rig = $ 62000/day = $2583.33/hr
Lubang bor 26”:
• Interval kedalaman = 610 - 1205 ft
• Footage = 595 ft
• Rotating time = 6.03 hrs
• Trip time = 10.91 hrs
• Pasang BOP,
RIH dan cement 20" casing = 40 hrs
• Harga pahat 36” = $ 33000
• Sewa rig = $ 62000/day = $2583.33/hr

Pada operasi pemboran konvensional ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya suatu biaya pemboran, antara lain adalah harga pahat, harga sewa rig, waktu operasi pemboran dan footage dari pahat yang digunakan, faktor tersebut perlu dihitung, untuk melihat seberapa besar waktu dan biaya pemboran yang telah dipakai. Berikut ini adalah perhitungan biaya pemboran dan nilai cost/foot dari operasi pemboran konvensional pada sumur IB-1:

1. Waktu Operasi Pemboran Konvensional Pada Lubang 36”.
Waktu operasi pemboran konvensional pada lubang 36”, yaitu:
Total waktu = Rotating time + Trip time +
RIH dan cement 30” casing time hrs
Total waktu = 1.5 hrs + 7.91 hrs + 20.71 hrs
= 30.21 hrs

2. Waktu Operasi Pemboran Konvensional Pada Lubang 26”.
Waktu operasi pemboran konvensional pada lubang 26”, yaitu:
Total Waktu = Rotating time + Trip time + RIH dan cement 20” casing time hrs
Total Waktu = 6.03 hrs + 10.91 hrs + 40.00 hrs
= 56.94 hrs

3. Total Waktu Operasi Pemboran Lubang Permukaan Pada sumur IB-1.
Adapun total waktu yang dipakai pada operasi pemboran lubang permukaan, yaitu:
Total waktu = Total waktu pemboran 36” + Total waktu pemboran 26”
Total waktu = 30.21 hrs + 56.94 hrs
= 87.15 hr

4. Cost/Foot Operasi Pemboran Pada Lubang 36”.
Adapun cost/foot operasi pemboran pada lubang 36”, yaitu:

5. Cost/Foot Operasi Pemboran Pada Lubang 26”.
Adapun cost/foot operasi pemboran pada lubang 26”, yaitu:

6. Total Cost/Foot Operasi Pemboran Konvensional Sumur IB-1.
Total cost/foot operasi pemboran konvensional pada sumur IB-1 untuk lubang permukaan, yaitu:

7. Cost/Foot Rata-Rata Pada Lubang Permukaan Sumur IB-1.
Cost/foot rata-rata pada operasi pemboran konvensional sumur IB-1 untuk lubang permukaan, adalah:
BAB V
PEMBAHASAN

Aplikasi pemboran dengan casing untuk lubang permukaan dilakukan di lapangan lepas pantai Laut Selatan Natuna yaitu Blok Nila milik ConocoPhillips Inc. Ltd. (COPI). Sumur Melati-01 adalah sumur yang menggunakan metode pemboran dengan casing. Kegiatan pemboran pada sumur-sumur tersebut untuk membuat lubang permukaan dilakukan pada Formasi Muda, dengan ketebalan formasi dapat mencapai 1500 ft dan kedalaman air laut dapat mencapai 350 ft.
Pada penulisan tugas akhir aplikasi pemboran dengan casing ini akan ditinjau kinerja pemboran, waktu pemboran dan cost/foot pemboran. Dari data hasil perhitungan yang diperoleh akan dapat dievaluasi tentang penggunaan sistem DWC di sumur Melati-01 baik dari segi teknik maupun dari segi keekonomisannya.
Kinerja pemboran yang dianalisa adalah pemilihan casing dan beban rangkaian casing yang ditanggung selama pemboran dengan casing berlangsung, antara lain yaitu beban collapse, beban burst dan beban tension. Pemilihan dan perhitungan beban yang ditanggung oleh rangkaian casing ini dilakukan dengan menggunakan metode grafis.
Aplikasi penggunaan sistem DWC pada pemboran lepas pantai di sumur Melati -01 terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui. Beberapa tahapan tersebut adalah : persiapan di darat, persiapan perakitan di darat dan persiapan di lepas pantai. Setelah persiapan tersebut telah memenuhui persyaratan maka selanjutnya pengoperasian pemboran dengan casing dapat dilakukan. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan metode grafis, maka dapat diperoleh harga untuk tekanan collapse dipermukaan 0 psi, tekanan collapse di shoe 575 psi, tekanan burst di permukaan 1509 psi, tekanan burst di shoe 1170 psi, beban tension untuk grade P-110 26715 dan beban tension untuk grade L-80 adalah 51765.
Casing dengan grade P-110 dipasang dari kedalaman 0’ sampai 426’ sedangkan casing dengan grade L-80 dipasang dari 426’ sampai kedalaman 1300’, penggunaan grade casing P-110 dan L-80 didasari oleh perbandingan harga SF yang didapat dengan SF yang merupakan standar dari perusahaan.
Untuk casing dengan grade P-110 dan L-80 didapat SF tension sebesar 4.6 dan 3.6 kedua safety factor ini telah dianggap memenuhui standar karena lebih besar dari SF yang diberikan oleh perusahaan yaitu sebesar 1.8, sedangkan untuk SF burst untuk casing dengan grade P-110 dan L-80 didapat 4.9 dan 3.3 safety factor ini juga telah dianggap memenuhui standar karena lebih besar dari SF yang diberikan oleh perusahaan yaitu sebesar 1.1, yang terakhir adalah SF collapse untuk casing dengan grade P-110 dan L-80 didapat 5.0 dan 4.0 ini juga telah dianggap memenuhui standar karena lebih besar dari SF yang diberikan oleh perusahaan yaitu sebesar 1.05.
Pada operasi pemboran dengan casing sumur Melati-01, lubang permukaan sampai kedalaman 1075 ft, dilakukan pekerjaan pemboran dengan ukuran pahat bor berdiameter 17 inch dengan footage berjarak 764 ft. Pada pelaksanaan pemboran di sumur ini, lamanya rotating time adalah 19.50 jam, yang kemudian dilanjutkan dengan pekerjaan penyemenan casing 13 3/8 inch dan memasang BOP selama 16.00 jam. Total waktu pemboran yang dibutuhkan pada operasi pemboran ini adalah sebesar 30.05 jam. Pada pemboran dengan casing pahat yang digunakan adalah DrillShoe dengan harga sebesar $ 37000, biaya peralatan operasi sebesar $ 60000 dan biaya jasa sebesar $ 12000. Besarnya cost/foot yang didapat untuk operasi lubang permukaan ini adalah $ 137.93/ft. Berbeda dengan pemboran konvensional, besarnya cost/foot pada pemboran dengan casing ini tidak dipengaruhi oleh trip time (t).
Pada operasi pemboran konvensional, yaitu semur IB-1 untuk lubang permukaan sampai kedalaman 1205 ft, dilakukan pekerjaan pemboran dengan ukuran lubang berdiameter 36 inch dan 26 inch. Footage pahat 36 inch adalah 285 ft dan footage pahat 26 inch adalah 595 ft. Pada pelaksanaan pemboran di sumur ini dengan lubang bor 36 inch, lamanya waktu pahat berputar atau rotating time adalah 1.50 jam dan waktu cabut rangkaian pipa bor atau trip time adalah 7.91 jam yang kemudian dilanjutkan dengan pekerjaan memasukkan rangkaian atau run in hole (RIH) pipa casing 30 inch serta pekerjaan penyemenan selama 20.71 jam. Waktu yang dibutuhkan pada kegiatan pemboran lubang bor 26 inch antara lain adalah rotating time selama 6.03 jam, trip time selama 10.91 jam. Kegiatan ini dilanjutkan dengan RIH pipa casing 20 inch, penyemenan dan memasang BOP selama 40 jam.
Dari pekerjaan-pekerjaan tersebut total waktu pemboran yang dibutuhkan pada operasi pemboran lubang permukaan adalah sebesar 87.15 jam. Dari pekerjaan-pekerjaan ini pula cost/foot yang didapatkan untuk operasi lubang permukaan adalah sebesar $ 337,11 di mana harga pahat 36 inch adalah $ 35000, harga pahat 26 inch adalah $ 33000 dan biaya sewa rig adalah $ 2583.33/jam. Besarnya cost/foot pada pemboran konvensional dipengaruhi oleh harga pahat (B), harga rig (R), rotating time (T), trip time (t) dan footage (F). Dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa total waktu yang dibutuhkan untuk membuat lubang permukaan pada metode pemboran konvensional lebih besar dari pada total waktu pemboran pada metode pemboran dengan casing. Lamanya waktu pemboran pada metode pemboran konvensional ini dikarenakan pada pelaksanaan metode pemboran konvensional, peralatan bawah lubang atau BHA harus dicabut kembali ke permukaan dan pipa casing harus diturunkan sebelum dilakukannya penyemenan. Hal ini menyebabkan adanya trip time dan RIH time untuk pipa casing.
Sedangkan pada metode pemboran dengan casing, hematnya waktu pemboran dikarenakan tidak diperlukannya mencabut peralatan BHA dan pekerjaan untuk menurunkan casing seperti pada metode pemboran konvensional. Pada metode pemboran dengan casing, setelah pemboran mencapai target kedalaman yang telah ditentukan, pekerjaan penyemenan dapat langsung dilakukan, sehingga dapat menghemat total waktu pemboran. Dari hasil perhitungan diatas juga dapat diketahui bahwa nilai cost/foot pada metode pemboran konvensional lebih besar dari pada cost/foot pada pemboran dengan casing. Walaupun pada pemboran konvensional harga pahat lebih kecil dibandingkan harga pahat pada pemboran dengan casing, tetapi dikarenakan pada pemboran dengan casing tidak ada trip time maka nilai cost/foot pada metode pemboran dengan casing lebih kecil dari pada cost/foot pada metode pemboran konvensional.
BAB VI
KESIMPULAN

Aplikasi sistem DWC di Sumur Melati-01 milik ConocoPhilllips Inc. Ltd. (COPI) sebelah selatan laut natuna dari kapal Transocean Sedco 601, untuk lubang permukaan pada lapangan lepas pantai Laut Selatan Natuna di Blok Nila, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada dua metode dalam pemboran dengan casing yaitu : pemutaran casing di permukaan untuk menghantar torsi ke BHA pemboran, atau mempunyai BHA yang dapat dilepas, terpasang di dalam casing yang bekerjasama dengan motor untuk menggerakan bit konvensional dan undereamer.
2. Dengan digunakannya sistem DWC dimana pemasangan casing dilakukan bersamaan pada saat pemboran berlangsung, maka akan mengurangi resiko sumur blow out sewaktu Tripping atau pemasangan casing.
3. Dengan penggunaan sistem DWC ini telah berhasil menghilangkan pemakaian casing 30” dan menggantikan rangkaian casing 20” dengan menggunakan pemakaian casing 13-3/8” dan diperbolehkan menggunakan BOP permukaan.
4. Pada pemboran lepas pantai sistem DWC telah menggantikan riser yang dihubungkan dengan BOP dengan casing 13-3/8” dan dari permukaan sampai batas lumpur terdiri dari beberapa sambungan casing P-110 NSCC dipasang dari kedalaman 0’ sampai 426’ dan L-80 BTC dipasang dari kedalaman 426’ sampai 1075’.
5. Pemasangan casing 13 3/8” yang direncanakan yaitu 1300’ RKB tidak sesuai dengan kondisi aktualnya yaitu 1075’ ini disebabkan umur pahat yang sudah habis dan tak bisa lagi menggerus.
6. Peralatan pemboran bawah lubang atau bottom hole assembly (BHA) pada metode pemboran dengan casing tanpa mencabut peralatan BHA (non-retrievable BHA) yang diperkenalkan oleh Weatherford lebih sederhana dari pada peralatan pemboran konvensional. Peralatan BHA pemboran dengan casing antara lain yaitu pipa casing, float collar dan Drill Shoe sebagai pahat bor. Sedangkan peralatan BHA pemboran konvensional antara lain adalah drill pipe, drill collar, stabilizer, bumper sub, cross over, bit sub, under reamer dan pahat bor.
7. Pemilihan dan penentuan beban rangkaian casing tergantung dari casing yang tersedia oleh perusahaan. Untuk pemboran dengan casing ini perusahaan menggunakan casing 13 3/8” dengan grade L-80 BTC dan P-110 NSCC selama pemboran berlangsung dianggap telah memenuhi standar.
8. Dengan penggunaan sistem DWC , maka dapat diperoleh penghematan biaya operasional sebesar 13000 USD fasa 13-3/8” dan penghematan waktu operasi selama 2 hari.
9. Pemboran dengan casing menghilangkan “flat spot” (titik datar) dalam kurva pemboran. Juga mempunyai kemampuan untuk memperpanjang bagian open hole untuk mencapai titik casing terdalam dengan diameter kecil.
APLIKASI PENGGUNAAN SISTEM DRILLING WITH CASING PADA PEMBORAN EKSPLORASI DENGAN SURFACE CASING 13 3/8”
DI LAPANGAN LEPAS PANTAI CONOCOPHILLIPS Inc. Ltd. BLOK NILA LAUT NATUNA SELATAN INDONESIA
mengerti apa yang sedang terjadi. Dahulu ketika awal-awal eksplorasi minyak di bumi ini, kejadian sumur yang muncrat dengan minyak yang menyembur ke atas, merupakan kejadian yang mengasyikan dan tanda-tanda kesuksesan eksplorasi. Pada waktu itu kesadaran keselamatan dan lingkungan belum secanggih saat ini, sehingga ketika terjadi semburan mereka (para explorer) berfoto mengabadikan penemuannya. Disebelah ini BO yang terjadi ketika memperoleh minyak di lapangan Spindletop tahun 1900.
Sumur ini diperkirakan memuncratkan minyak 3 juta galon (lebih dari 12.000 meter kubik) atau sebesar 80.000 (BPH) Barrel oil setiap hari, sebuah angka produksi yang sangat sulit dijumpai saat ini. Bandingkan dengan lapangan minyak di Indonesia saat ini. Tuh lihat ... mereka berjejer foto. Coba kalau sekarang aku berfoto begitu ... waddduh pasti GreenPeace an WLHI akan marah-marah .... wupst ! Saat ini peristiwa muncratnya minyak harus dicegah karena alasan keselamatan serta lingkungan.
Mulai saat munculnya kesadaran ini lah, maka muncratnya minyak (fluida) dari dalam ketika melakukan pengeboran dianggap sebagai musibah atau kecelakaan operasi, karena tidak hanya minyak yang keluar namun juga air dari dalam bumi termasuk material batuan dapat ikut 'mecotot' keluar. Aliran fluida pengeboran dalam kondisi normal, pengeboran dilakukan dengan memasukkan fluida (lumpur pemboran) dari dalam pipa bor sebagai media sirkulasi. Sirkulasi ini diperlukan salah satunya berfungsi untuk menahan tekanan fluida dari dalam tanah. Dalam kondisi normal besarnya
tekanan fluida didalam tanah itu sama dengan tekanan tinggi kolom air, masih ingat hukum Pascal, kan ?, itu tuh yang rumusnya tekanan sama dengan hasil kali berat jenis x tinggi x gravitasi. Nah kalau tingginya (dalah hal ini kedalaman) diketahui kan kita tahu seberapa besat tekanannya. Tekanan didalam tanah itu bisa saja melebihi tekanan tinggi kolom air sehingga fluida yang dimasukkan harus memiliki berat jenis lebih besar dari BJ air.
Ini gambar kalau tidak dipompakan lumpur dari atas.
Kalau sedang dipompakan maka alirannya jadi agak rumit ya ? Tapi coba perhatikan adanya penambahan dan kehilangan lumpur ketika sedang ngebor.
"Lost" dan "Gain"
Istilah "lost and gain" dalam operasi pengeboran ini sangat lazim dan sangat sering terjadi. Saat ini sudah ada alat yg disebut BOP (BlowOut Preventer), alat ini yang akan digunakan ketika terjadi lost-gain, sebagai katup pengaturnya. Apabila berat jenis lumpur pemboran memiliki berat yang lebih berat dari tekanan formasi maka akan terjadi masuknya lumpur ke formasi yang porous. Lost merupakan kejadian ketika lumpur masuk ke formasi ini.
Apabila BJ lumpur terlalu kecil, maka lumpur tidak kuat menahan aliran fluida dari pori-pori batuan. Lah, ya saat itu terjadi "gain" atau adanya tambahan fluida yang masuk ke dalam lubang sumur. Kalau hal ini tidak teratasi atau terlewat karena proses penyemburannya sangat cepat maka aliran fluida dari batuan di dalam tanah ini terjadi terus menerus. Seterusnya fluida akan muncrat keluar melalui lubang sumur dan lubang di tengah pipa pemboran. Ini yang disebut sebagai semburan liar atau "blowout". Yang keluar bisa berupa minyak, gas, ataupun air dan bahkan campuran.
Kondisi tekanan masing-masing lapisan di dalam bumi sana itu tidak seragam, juga tidak di setiap tempat sama. Tekanan fluida pada Batu gamping (karbonat) di formasi Kujung di BD-Ridge yang memanjang dari lapangan BD ke daerah Porong ini, berbeda dengan Batu gamping kujung di Laut Jawa. Berbeda pula perilaku dan sebaran tekanannya dengan batu gamping di Baturaja Sumatra, berbeda pula dengan yang di Irian. Memang secara mudah semakin dalam, maka tekanannya semakin besar. Namun ada kalanya sebuah lapisan mempunyai tekanan yang rendah atau bahkan bila disetarakan dengan tinggi kolom air memiliki tekanan di bawah berat jenis air.
Ketika ada dua zona tekanan yang berbeda inilah pen-design sebuah sumur harus jeli. Harus tahu dimana harus memasang selubung (casing) yang tepat. Pipa selubung (casing) ini berfungsi untuk mengisolasi zona bertekanan tidak normal, sehingga penanganannya lebih mudah tidak menimbulkan komplikasi.
Design sumur
Nah… ketika komplikasi tekanan ini sudah diketahui dari sumur-sumur sebelah-menyebelahnya maka design sumur harus lebih baik dari sumur sebelumnya. Untuk pertimbangan bisnis pada saat ini ada dua hal yang harus diperhitungkan paling dahulu
yaitu pertama keselamatan dan kedua keselamatan.... looh kok dua-duanya keselamatan ... ah iya lah, yaw ... kan kesadaran keselamatan kerja saat ini lebih kuat ketimbang hal lain. Hampir semua bisnis memang mendengungkan keselamatan harus lebih didahulukan ... keselamatan pekerja, dan keselamatan lingkungan .... Nah setelah itu baru memperhitungkan biaya. (ah rdp selalu positip aja ... kalau bisnis kan mesti harus ngirit :) ... Hust !!, memasang casing untuk menutup ini kan butuh biaya ... HUST !) Nah design sumur inilah yang dipakai sebagai pegangan ketika operasi.
Komplikasi lost-gain
Ketika terjadi komplikasi lost dan gain ini perlu penanganan dengan teknik khusus. Kedua problem ini ditangani dengan cara yang sangat khusus pula. Namun kalau hal ini tidak teratasi sangat mungkin terjadi "cross-flow", yaitu fluida yang bertekanan tinggi memasok ke batuan yang memilki tekanan fluida rendah. Seandainya hal ini terjadi terus menerus maka terjadilah underground blow out, atau semburan liar di dalam tanah. Yang seandainya berkelanjutan dapat pula terjadi seperti apa yang terlihat di BJP-1.
Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)
Untuk kasus di BPJ ini semburan liar telah terjadi dengan material lumpur yang keluar dari lubang-lubang yang bukan dari lubang bor. Lumpur itu telah keluar melalui celah-celah yang terbentuk akibat tekanan tinggi dari dalam tanah. Banyak hal yang harus diketahui sebelum berusaha menghentikan semburan liar ini antara lain :
• Dimana titik-titik lubang jalan keluarnya lumpur ini.
• Berapa tekanan bawah permukaan tempat keluarnya.
• Melihat material yang sudah keluar, perlu diketahui bagaimana bentuk lubang bor saat ini.
• Setelah diketahui tentunya perlu juga menentukan peralatan apa saja yang diperlukan.
• dll.
Tentu saja kita prihatin akan hal ini. Namun dengan pengetahuan yang benar semoga kekhawatiran ini menghasilkan cara yang tepat untuk mengatasi.
Salam RDP
Wah kata temenku ... Jawa timur mengalami dua masalah pengeboran dalam waktu dekat, sekarang ngebornya Lapindo, dulu ngebornya inul :)

Kebijakan Penanganan Lumpur Lapindo


Tasliman Solihin on 12 28, 2010

PENDAHULUAN

Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.

http://trialweb.bappenas.go.id/blog/wp-content/uploads/2010/12/lapindo_kantorpertamina_tenggelam-300x199.jpg

Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo, rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran 1 (menggunakansnubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well) mengalami kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal.

PENYEBAB SEMBURAN LUMPUR

Setidaknya ada 3 aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut. Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen.

Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya.

Argumen liquefaction lemah karena biasanya terjadi pada lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada kedalaman 2.000-6.000 kaki. Akhirnya, kesalahan prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul. Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Namun, dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.

Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur. Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing, sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.

Ketiga, aspek politis. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam. Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas ini. Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem. Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi.

ISU-ISU MENONJOL

Aspek Lingkungan

Menurut Pasal 33 Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan di wilayah dekat rumah tinggal, dekat bangunan umum dan wilayah pabrik. Sementara, lokasi sumur Banjar Panji 1 berada 600 meter dari permukiman warga. Namun pemerintah daerah justru meloloskan izin Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) berikut turunan izin lainnya terhadap kegiatan usaha ini. Seharusnya dalam dokumen UKL/UPL tersebut, sudah diperkirakan bagaimana kondisi geografis wilayah tersebut dan desain (pengeboran) apa yang seharusnya dirancang untuk mengahadapi situasi tersebut. Faktanya, pemerintah dan Lapindo justru menutup mata dengan kondisi tersebut. Seolah-olah hal tersebut terjadi karena bencana alam dan Lapindo lepas dari tanggung jawab.

Upaya penanganan (pasca semburan) yang dilakukan selama ini justru jauh dari aspek perlindungan lingkungan. Selain itu, aroma yang timbul dari luapan lumpur yang berdampak pusing dan mual turut hadir dalam peristiwa tersebut. Dengan bergeraknya angin, aroma tersebut dapat dirasakan lebih dari 2 km dari wilayah semburan. Tentunya, tidak adanya perencanaan yang komprehensif menjadi salah satu penyebab.

Hal yang paling penting adalah isi dari Peraturan Presiden No.14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang tidak memasukkan deputi bidang yang menangani secara khusus pemulihan dan pengawasan serta perlindungan lingkungan hidup. Padahal, upaya pemulihan dan pengawasan terhadap lingkungan menjadi faktor penting untuk menilai dampak lingkungan yang akan terjadi.

Aspek Ekonomi

Kajian dampak kerusakan dan kerugian akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo yang dilakukan Bappenas dengan melibatkan Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Jawa Timur, memperkirakan kerugian total mencapai Rp27,4 triliun selama sembilan bulan terakhir, yang terdiri atas kerugian langsung sebesar Rp11,0 triliun dan kerugian tidak langsung Rp16,4 triliun. Laporan awal penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana semburan lumpur panas di Sidoarjo yang diperoleh ANTARA News, Rabu (10/4), menyebutkan bahwa angka kerugian itu berpotensi meningkat menjadi Rp44,7 triliun, sedangkan akibat potensi kenaikan kerugian dampak tidak langsung menjadi Rp33,7 triliun.

Aspek lain yang seharusnya menjadi catatan adalah pemberian ganti rugi korban luapan lumpur. Terminologi yang seharusnya muncul sebelum dilakukan pemberian ganti rugi adalah konsep dasar penguasaan dan pengusahaan usaha minyak dan gas bumi yang diatur dalam Pasal 4 UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal tersebut menyebutkan bahwa minyak dan gas bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Artinya, dalam proses pemberian ganti rugi tersebut, peran negara tidak bisa dilepaskan dengan terdapatnya kandungan sumber daya alam di dalamnya. Fakta yang terjadi saat ini, pemberian ganti rugi dilakukan dengan mekanisme jual beli dan dilakukan antara pihak Lapindo, dalam hal ini ditangani oleh PT Minarak Lapindo Jaya dengan warga korban. Praktis secara hukum hak atas tanah dan bangunan tersebut menjadi milik Lapindo Brantas.

Bagaimanapun pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun nonfisik, dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama-lamanya. Namun, yang sering dilupakan selama ini adalah interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah. Selain hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, juga berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Isu sentral dalam pengambilalihan hak atas tanah adalah pemberian ganti kerugian sebagai bukti terhadap pengakuan, penghormatan, dan perlindungan HAM. Angin reformasi yang menerpa segala bidang juga berimbas pada kebijakan tentang pengambilalihan tanah. Artinya, pengambilalihan tanah harus dilakukan dengan menjunjung tinggi HAM. Peran negara/pemerintah yang sentralistik seharusnya sudah bergeser ke arah pemberian kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan kegiatan yang menyangkut kepentingan publik.

Aspek Sosial

Dalam penanganan dampak sosial, pemerintah melakukan, antara lain, meminta untuk menuntaskan pembayaran uang muka cash and carry 20 persen kepada korban di empat desa (Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo) yang masuk dalam peta dampak lumpur 4 Desember 2006. Setelah itu menuntaskan pembayaran kepada seluruh warga yang masuk peta terdampak lumpur 22 Maret 2007 (warga Perum TAS I, Desa Gempolsari, Kalitengah, sebagian Kedungbendo).

LBI juga diminta menyiapkan dana simpanan di-escrow account Rp 100 miliar tiap minggunya untuk pembayaran uang muka 20 persen setelah proses verifikasi, sedang 80 persen sisanya akan dibayarkan sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis.

Dampak sosial juga tak kalah parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan itu dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.

Aspek Hukum

Pada 27 November 2007, Pengadilan Jakarta Selatan menolak gugatan legal standing Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas menyemburnya lumpur panas. Hakim menyatakan munculnya lumpur akibat fenomena alam. Pengadilan Jakarta Pusat menolak gugatan korban yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Hakim beralasan, Lapindo sudah mengeluarkan banyak dana untuk mengatasi semburan lumpur dan membangun tanggul. Terakhir, Mahkamah Agung juga menolak permohonan uji materi atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.

REKOMENDASI

Perlu kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan korban lumpur Lapindo dengan mengedepankan rasa keadilan.

Tindakan para warga korban luapan lumpur, yang menuntut ganti rugi dalam bentuk dan perlakuan yang sama diantara sesama mereka, seharusnya dapat dibenarkan secara hukum. Pemerintah seyogyanya melakukan relokasi warga ke lokasi baru dengan biaya dari Lapindo tanpa menghilangkan hak atas tanah para korban dengan tanahnya di areal lumpur.

Upaya Gubernur ataupun pihak Lapindo untuk menyediakan kompleks perumahan sebagai pengganti rumah warga yang terkena luapan lumpur sebagai upaya pemukiman kembali secara kolektif, termasuk didalamnya relokasi untuk pabrik atau industri rakyat, hendaknya tetap bisa ditawarkan sebagai salah satu solusi, dan bukan satu satunya solusi, yang tentu harus disertai dengan berbagai bantuan kemudahan ijin khususnya bagi relokasi industri.

Mengingat mendesaknya penyelesaian masalah, maka hal yang sangat mungkin untuk segera dilakukan sebagai salah satu solusi adalah mendorong atau bahkan memaksa Negara dalam hal ini pemerintah untuk melakukan upaya nyata menyelamatkan hak hak warga masyarakat terlebih dahulu, bahkan bisa jadi, apabila sangat mendesak pemerintah menggunakan pinjaman lunak guna pemberian talangan ganti rugi kepada warga, baru selanjutnya Negara dalam hal ini pemerintah, menyelesaikan masalah hukum dengan pihak P.T Lapindo Brantas.

Bagi warga korban luapan lumpur yang tanah ataupun rumahnya masih menjadi agunan pinjaman di Bank, mereka tetap harus juga diperlakukan sama, sepanjang hak pembayaran yang mereka terima sebagai ganti rugi proporsional, artinya dapat dikurangi atau dipotong sejumlah tanggungan mereka di Bank, atau masing-masing warga secara individual dapat bernegosiasi dengan pihak Bank atas keberadaan jaminan pengganti apabila ikatan hukum mereka atau pinjaman mereka tetap diteruskan dengan kontribusi dari pemerintah maupun prakarsa–prakarsa yang dilakukan oleh kelompok kelompok masyarakat.

Pembayaran ganti rugi disarankan dibayarkan langsung kepada yang berhak, setelah terjadi kesepakatan kejelasan hubungan hukum atau kelanjutan hubungan hukum antara individu korban dengan pihak Bank. Masalah administrasi bukti kepemilikan atau status hukum kepemilikan dari tanah atau rumah warga korban luapan lumpur yang tidak sempurna, hendaknya bisa diatasi dengan kebijakan khusus yang bersifat terbatas, misalnya diatur dalam bentuk hukum peraturan pemerintah yang mengatur kekhususan solusi.

Kedudukan atau posisi hukum dari PT MINARAK LAPINDO JAYA perlu diperjelas kaitannya dengan Perpres 14 tahun 2007, dan akan sangat baik apabila bentuk hukum yang mengaturnya tidak dalam bentuk Perpres akan tetapi Peraturan Pemerintah, sehingga lebih memiliki kepastian hukum.

Dalam menciptakan kesiapan menghadapi bencana maupun pasca bencana, pemerintah sebenarnya dapat dan harus melakukan pendekatan yang melibatkan masyarakat/komunitas (community based disaster risk management). Pemerintah dapat memanfaatkan modal sosial yang selama ini sudah mengakar di budaya masyarakat, yakni sikap gotong-royong.

Khusus korban lumpur Lapindo yang merupakan petani, hendaknya perlu diperhatikan bahwa ganti rugi berupa uang hendaknya dapat digunakan kembali untuk membeli lahan pertanian. Bukan hanya cukup untuk tempat tinggalnya saja. Hal itu disebabkan bahwa tanggung jawab PT Lapindo tidak hanya sekedar memindahkan penduduk, tetapi secara moral dan ekonomi juga harus berupaya memberdayakan kembali masyarakat.

–o0o–

Tasliman Solihin adalah Perencana Muda Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas.

REFERENSI

· Republik Indonesia. 2007, Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 14, 2007. Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Jakarta.

· Diskusi panel dengan tema Penyelesaian Masalah dan Sengketa Pelepasan Hak di atas Tanah Milik Korban Lapindo, Universitas Indonusa Esa Unggul bekerjasama dengan Pusat Kajian Konstitusi Universitas Surabaya Universitas Surabaya, 19 Desember 2007

· Kompas, Bencana Ekologi Seharusnya dilihat Sebagai Ulah Manusia, Sabtu, 12 april 2007

· Kompas, Memperkuat Negara Melawan Lapindo, Dian Pudji Simatupang, Sabtu, 01 Maret 2008

· Kompas, Wujud Gagal Penanganan Semburan Lumpur Lapindo, Selasa, 27 Mei 2007

· http://www.suarapembaruan.com/News/2006/12/11/ Kesra/kes01.htm, 11 Desember 2006